MENUJU PEMBANGUNAN SULTRA YANG BERKELANJUTAN
(analisis rencana penetapan kawasan ekonomi khusus
pertambangan)
Oleh:
Robin**
Apa itu
Pembangunan berkelanjutan???
Sebelum membahas tentang
bagaimana pengelolaan yang berkelanjatutan ada baiknya kita harus mengetahui tentang latar belakang
pembangunan berkelanjutan itu. Perbincangan tentang “Pembangunan Berkelanjutan”
atau “suistainable development” sebenarnya bukanlah suatu hal yang baru,
baik dilihat secara global maupun nasional. Namun dalam pelaksanaannya
masih belum dipahami dengan baik dan oleh karenanya masih menunjukkan
banyak kerancuan pada tingkat kebijakan dan pengaturan dan mempunyai
banyak gejala pada tatanan implementasi atau pelaksana. Sebagai
sebuah konsep, pembangunan yang berkelanjutan yang mengandung pengertian
sebagai pembangunan yang “memperhatikan” dan “mempertimbangkan” dimensi
lingkungan hidup dalam pelaksanaannya sudah menjadi topik pembicaraan dalam
konferensi Stockholm (UN Conference on the Human Environment) tahun 1972
yang menganjurkan agar pembangunan dilaksanakan dengan memperhatikan
faktor lingkungan (Soerjani, 1977: 66), menurut Sundari Rangkuti
Konferensi Stocholm membahas masalah lingkungan serta jalan keluarnya,
agar pembangunan dapat terlaksana dengan memperhitungkan daya dukung lingkungan
(eco-development) (Rangkuti,2000:27)
Dilaksanakannya konferensi
tersebut adalah sejalan dengan keinginan dari PBB untuk menanggulangi dan
memperbaiki kerusakan lingkungan yang terjadi. Bertepatan dengan di umumkannya
“Strategi Pembangunan Internasional” bagi “Dasawarsa Pembangunan Dunia ke–2 “(The
Second UN Development Decade) yang dimulai pada tanggal 1 Juni 1970,
Sidang Umum PBB menyerukan untuk meningkatkan usaha dan tindakan nasional serta
Internasional guna menanggulangi “proses pemerosotan kualitas lingkungan hidup”
agar dapat diselamatkan keseimbangan dan keserasian ekologis, demi kelangsungan
hidup manusia, secara khusus resolusi Sidang Umum PBB No. 2657 (XXV) Tahun 1970
menugaskan kepada Panitia Persiapan untuk mencurahkan perhatian kepada usaha
“melindungi dan mengembangkan kepentingan-kepentingan negara yang sedang
berkembang” dengan menyesuaikan dan memperpadukan secara serasi kebijakan nasional
di bidang lingkungan hidup dengan rencana Pembangunan Nasional, berikut skala
prioritasnya (Hardjasoemantri, 200:7). Amanat inilah yang kemudian dikembangkan
dan menjadi hasil dari Konferensi Stocholm yang dapat dianggap sebagai
dasar-dasar atau cikal bakal konsep “Pembangunan Berkelanjutan”. Selanjutnya
dalam undang-undang no. 32 tahun 2009 tentang pengelolaan lingkungan hidup juga
sangat menekaankan mengenai pembangunan yang berkelanjutan. Hal inilah yang
menyebabkan keberlanjutan suatu sumberdaya akibat pembangunan menjadi prioritas
utama yang harus diperhatikan dalam pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan.
Mengapa
harus berkelanjutan??
Suatu pembangunan dalam skala
yang lebih luas ataupun skala yang lebih kecil seharusnya harus mempunyai
prinsip berkelanjutan, bagaimana tidak sumberdaya yang dimiliki suatu daerah
pada hakikatnya bukan hanya dapat digunakan untuk generasi sekarang akan tetapi
harus dapat dinikmati oleh anak cucu kita dimasa yang akan datang. Itulah
sebabnya keberlanjutan dalam suatu kegiatan sangat diutamakan bukan hanya
keuntungan yang sifatnya sementara namun tidak dapat diwariskan kepada generasi
yang akan datang. Ditengah-tengah arus globalisasi dan krisis global yang
merasuki setiap sendi kehidupan masyarakat (multidimensi) misalnya pemanasan
global, krisis energi krisis pangan dan masih banyak lagi krisis-krisis yang
lain, Tentunya akan sangat mempengaruhi tatanan kehidupan masyarakat. Melihat
kondisi seperti ini pemerintah seharusnya harus mewaspadai efek yang
ditimbulkan oleh krisis seperti ini dengan melihat atau mengembangkan potensi
yang dimiliki daerah secara lebih bijaksana. Sulawesi Tenggara merupakan daerah
yang sangat kaya akan sumberdaya alam khususnya dalam bidang pertanian dan
perikanan namun pemerintah belum menggenjot upaya-upaya agar potensi tersebut
dapat termanfaatkan secara maksimal. Lebih mengejutkan lagi justru pemerintah
daerah Sulawesi Tenggara tengah memperjuangkan sultra sebagai daerah
intensifikasi dan ekstensifikasi pertambangan nasional.
Mengenai arah kebijakan
pembangunan Sulawesi Tenggara yang akhir-akhir ini sedang hangat-hangatnya
dibahas yaitu mengenai Intensifikasi dan ekstensifikasi Pertambangan (Baca: Kawasan
Ekonomi Khusus Pertambangan), pemerintah daerah terkesan terlalu
memprioritaskan kegiatan pertambangan dan kelihatannya cenderung
menganaktirikan potensi-potensi daerah lainnya seperti pertanian dan perikanan.
Kegiatan pertambangan merupakan salah satu sumber pendapatan daerah yang sangat
besar apa lagi kalau dikelola secara baik. Kita bersama-sama menyadari bahwa
intensifikasi dan ekstensifikasi pertambangan di Sultra akan mengubah kondisi
sosial dan ekonomi masyarakat Sultra secara radikal. Mengutip pernyataan salah
satu Dosen Antropologi Fisip Unhalu, Winesty. menuturkan bahwa semua pembangunan tentunya menimbulkan perubahan
sosial, hanya saja perlu dilihat apakah mengarah kepada dampak positif atau
negatif. Konsekuensi pembangunan yang mengarah pada perubahan sosial dan
budaya, misalnya mata pencaharian sebagai petani yang sekaligus pemilik sawah
atau kebun, berubah menjadi pekerja tambang, karena tanahnya telah
dijual. “Ironisnya jika yang
tadinya mereka merupakan produsen bahan pangan malah berubah menjadi konsumen,
dan terpaksa membeli bahan pangan dengan harga lebih mahal,"
Selain
itu terjadi pula perubahan pola hidup. Misal, tadinya ritme (irama) kerja
agraris kemudian berubah menjadi irama perusahaan yaitu jam kerja ditentukan,
demikian pula dengan penghasilan yang akan mempengaruhi pola konsumsi cenderung instant. Berbeda dengan awalnya yang agraris meskipun polanya lebih lambat
tetapi mampu menjadi produsen bagi dirinya sendiri (Plus Minus Perusahaan Tambang di
Sultra. Kendari pos)
Pergeseran pola kehidupan
masyarakat seperti yang disebutkan diatas jika diteliti lagi akan sangat
berbahaya bagi keberlanjutan suatu sistem masyarakat yang sudah lama terbangun,
dimana intensifikasi dan ekstensifikasi pertambangan akan memerlukan peningkatan
upaya dan ekspansi kawasan yang akan ditambang sehingga akan mereduksi luas
kawasan hutan secara besar-besaran. Kebisaan masyarakat untuk bertani yang bisa
menghasilkan makanan sendiri akan berubah menjadi konsumen yang akan memberikan
beban kepada keperluan pangan secara nasional sehingga akan timbul kekhawatiran
akan terjadinya krisis pangan di sultra, selain itu peningkatan harga-harga
pangan akan semakin meningkat yang bagi sebagian kalangan kondisi ini semakin
mencekik masyarakat. Selanjutnya
disebutkan diatas berapa banyak yang akan kehilangan mata pencaharian
untuk memenuhi kebutuhan hidupnya kalaupun mereka bisa dialihkan menjadi
pekerja tambang maka untuk mengubah kebiasaan itu diperlukan waktu yang cukup
lama. Selain itu efek domino yang dihasilkannya seperti harga barang yang
sangat mahal munculnya tempat tempat hiburan (maksiat) seperti yang umumnya
ditunjukan pada daerah-daerah pertambangan misalnya di Bombana akan mengerus
nilai-nilai masyarakat yang telah lama ada. Kerusakan hutan yang ditimbulkannya
akan menyisakan penderitaan rakyat yang berkepanjangan, penyakit yang mungkin
akan mewabah karena kondisi alam yang rusak, organisme-organisme endemik akan
hilang belum lagi dampak kerusakan hutan yang mendorong terjadinya erosi ke
laut akan merusak ekosistem yang ada di laut sebagai akibat terjadinya
sedimentasi besar-besaran dan masih banyak lagi dampak negatif lainnya.
Pemerintah daerah seharusnya
lebih kreatif dalam mencari solusi untuk meningkatkan pendapatan daerah.
Seharusnya pemerintah melihat perkembangan yang teraktual yang terjadi secara
nasional maupun internasional. Salah satu contohnya bahwa jumlah penduduk dunia
yang diperkiraan akan mencapai 7 miliyar jiwa tentunya yang diperingatkan oleh
PBB adalah ancaman terjadinya krisis pangan, ini seharusnya menjadi tantangan
bagi pemerintah.
Luas daerah sultra yang sekitar wilayah
daratan seluas 38.140 km² (3.814.000 ha) dan perairan (laut) seluas 110.000 km² (11.000.000 ha) (Wikipedia.com)
tentunya banyak potensi daerah yang cukup ekonomis dan tetap ramah lingkungan
misalnya Kita mempunyai potensi cokelat yang sangat besar kalau diintesifkan
pasti akan menghasilkan keuntungan yang besar. Belum lagi kegiatan-kegiatan
pertanian dan perikanan lainnya seperti padi dan rumput laut yang kita miliki
sangat besar. sebagai contoh untuk budidaya rumput laut kalau misalnya ada 100
ha lokasi budidaya rumput laut dengan hasil 3 ton/ha (produksi rendah) dengan
harga berkiar antara Rp. 12.000-14.000 maka dalam satu kali masa panen kurang
lebih 45 hari akan dihasilkan sekitar 3 ½ M/panen. Anggap saja dalam setahun
itu terjadi 9 kali masa panen maka nilainya menjadi 32 M nilai yang sangat
besar untuk masyarakat kita sedangkan kita memiliki ratusan ribu hektar lahan
untuk budidaya rumput laut apalagi kalau di sultra terdapat pabrik karagenan tentunya
akan semakin meningkatkan nilai jual dari produk rumput laut yang pada akhirnya
akan menigkatkan pendapatan masyarakat. Kita juga belum mekasimalkan komoditi
yang lain misalnya budidaya gracillaria ditambak
atau budidaya ikan ekonomis penting seperti kerapu dan abalone berapa banyak
tambak-tambak yang tidak produktif. Kalau seandainya pemerintah serius untuk
menyokong program ini pastilah hasilnya juga akan lebih memuaskan tanpa harus
mengorbankan alam sulawesi tenggara dengan kekayaan tambang yang sifatnya
sementara. Harus diakui bahwa untuk mensukseskan rencana tersebut membutuhkan
waktu yang tidak singkat bila dibandingkan dengan industri pertambangan yang
kelihatanya memebrikan keuntungan yang lebih banyak dan cepat, akan tetapi
dengan melihat dampak yang akan diberikan kepada masyarakat sudah seharusnya
kegiatan-kegiatan yang ramah lingkungan harus menjadi prioritas utama. Maka dengan Merealisasikan Kebijakan
Kawasan Ekonomi Khusus Di Sultra dikhawatirkan Pemerintah daerah telah membawa
propinsi ini kearah kehancuran. Bukannya bersikap skeptis atau pesismis
dengan niat pemerintah untuk membangun daerah Sulawesi Tenggara tentunya
pemerintah memiliki niat yang baik, akan tetapi kebaikan niat saja belum cukup
seharusnya diperlukan perencanaan yang baik dan menyeluruh (konprehensif)
terhadap konsep ini. Berikut ini saya coba mengajukan beberapa pertanyaan
mengenai konsep KEK ini diantaranya:
1.
Apakah pemerintah sudah memperhatikan aspirasi
masyarakat daerah sulawesi tenggara mengenai konsep tersebut.
Memang
dari beberapa sumber pemerintah daerah telah mendapatkan lampu hijau dari DPR
Ri mengenai konsep KEK ini akan tetapi seharusnya pemerintah daerah harus
melihat dinamika yang terjadi dilapangan, dimana banyak seklai terjadi
demonstrasi menolak konsep tersebut. Hal ini menunjukan bahwa ada sesuatuyang
mengganjanl dihati masyarakat mengenai rencana pemerintah akan merealisasikan kawasan
ekonomi khusus di sultra.
2.
Persiapan apa saja yang sudah dlakukan pemerintah
untuk merealisasikan program ini?
Persiapan
yang dimaksud adalah pemerintah apakah telah mengadakan estimasi secara lebih
mendalam menegenai efek yang akan ditimbulkan sebelum dan sesudah KEK
dilaksanakan disultra. Memang setiap perusahaan harus mempunyai AMDAL akan
tetapi diperlukan tim Independen yang bisa merumuskan mengenai kondisi wilayah
yang akan terkena dampaknya karena selama ini kegiatan amdal “maaf” terkesan hanya merupakan legitimasi
proses penambangan di sultra.
3.
Sudahkah pemerintah menghitung kerugian yang
ditimbulkan oleh KEK ini bukan hanya menghitung keuntungannya???
Yang penulis maksudkan disini adalah apakah
pemerintah telah menginvetarisir semua yang berpotensi hilang ketika kebijakan
ini jadi diberlakukan dan menghitung semuanya dalam nilai uang sehingga
kerugian yang akan ditanggung dapat di ketahui.
4.
Bisakah pemerintah menjamin kesejahteraan
masyarakat apabila konsep ini jadinya diterapkan di sultra???
5.
Siapakah yang akan bertanggung jawab bila konsep
KEK ini tidak berjalan dengan baik dan menimbulkan kerusakan yang parah pada
lingkungan???
Pertanyaan
pertanyaan diatas seharusnya sudah ada dalam agenda pemerintah sebelum
menggodok rencana tersebut. Karena apabila tidak terencana dengan baik
dikhawatirkan program KEK yang semula ditujukan untuk kemakmuran rakyat akan
menjadi bumerang bukan hanya bagi pemerintah daerah sepenuhnya akan tetapi yang
paling mendapatkan dampaknya adalah masyarakat. Seharusnya pemerintah daerah
banyak belajar dari apa yang terjadi di daerah-daerah lain yang telah terlebih
dahulu melakukan intensifikasi pertambangan. Papua misalnya dimana adanya PT. Freeport tidak menjamin kemakmuran
masyarakat papua justru lebih menjadi pemicu konflik horizontal antara masyarakat
dengan perusahaan. Keuntungan dari perusahaan tersebut yang hanya sekitar 8
triliyun rupiah/ tahun hanya dinikmati oleh sedikit kalangan saja tidak heran
kalau Papua meminta merdeka. Contoh lain di Bangka Belitung yang merupakan pulau
Timah pertanyaan yang sama siapa yang menikmati Timah di sana??? hanya sebagian
kalangan yang menikmatinya dan masyarakat tidak mendapatkan apa-apa dari hasil
buminya tersebut, apalagi saat ini menurut penelitian bahwa timah di bangka
belitung tinggal kurang dari 7 tahun lagi, sekarang teman-teman mahasiswa dari
pulau tersebut sedang sibuk melakukan
upaya-upaya pemanfaatan lahan yang tidak digunakan lagi untuk pertambangan timah
tentunya ini menimbulkan masalah baru. Seharusnya hal itu bisa menjadi
pertimbangan pemerintah. Penulis meyakini hal ini sebenarnya sudah disadari
oleh pemerintah bahkan orang awam pun menyadari bahwa pertambangan itu dapat
merusak lingkungan akan tetapi mengapa pemerintah tetap ngotot untuk menerapkan
kebjakan itu di sultra??? jawabannya mungkin sudah ada dibenak kita masing-masing.
Tetapi menurut saya pemerintah provinsi cuman sedikit kurang kreatif saja dalam
membaca peluang dan lebih memilih proses instant dalam meningkatkan
perekonomian daerah.
Dari
hasil pemaparan bapak gubernur mengenai potensi barang tambang di sultra yang nilanya
woow..!!! fantastais yang nilainya mencapai puluhan
ribu triliyun, akan tetapi kita perlu konsekuensi pembangunan pasti akan
memberikan dampak sosial. Seharusnya metode yang diambil adalah mengedepankan
melihat mudharatnya daripada mengambil manfaatnya terlebih dahulu. inilah
konsep yang harus dicermati,, apalagi hal ini menyangkut pengambilan sumberdaya
alam yang sifatnya tidak sustain maka harus benar-benar mendapatkan pengkajian
yang mendalam. Bukannya bersikap skeptis atau anti pati dengan program
pemerintah. Kita sama sama meyakini
bahwa tujuannya pemerintah daerah pastinya untuk kemajuan masyarakat, akan
tetapi sekali lagi yang perlu ditekankan bahwa niat saja tidak cukup, akan
tetapi banyak pertimbangan-pertimbangan lain yang perlu diperhatikan
sebagaimana yang telah sebutkan diatas tadi.
Gubernur Sultra sudah
mendapatkan dukungan dari presiden RI dan anggota DPD RI terkait rencana Sultra
dijadikannya kawasan ekonomi khusus Pertambangan nasional usai memaparkan
kondisi kandungan sumber daya alam Sultra.
"Nur Alam dalam penjelasan seusai bertemu presiden, Jumat (21/1), mengatakan bahwa Sultra siap untuk dijadikan kawasan ekonomi khusus karena memiliki cadangan sumber daya alam yang melimpah khususnya jenis tambang emas, nikel dan aspal," ujar Hartono.Katanya, tim menghitung dari hasil emas dengan cadangan tersedia 1.125 juta ton akan didapatkan uang Rp337 ribu triliun, dari hasil nikel cadangan tersedia 90 miliar ton didapatkan uang Rp48.000 triliun. Serta cadangan aspal tersedia sampai 200 tahun ke depan dengan jumlah cadangan 3,8 miliar ton.
"Nur Alam dalam penjelasan seusai bertemu presiden, Jumat (21/1), mengatakan bahwa Sultra siap untuk dijadikan kawasan ekonomi khusus karena memiliki cadangan sumber daya alam yang melimpah khususnya jenis tambang emas, nikel dan aspal," ujar Hartono.Katanya, tim menghitung dari hasil emas dengan cadangan tersedia 1.125 juta ton akan didapatkan uang Rp337 ribu triliun, dari hasil nikel cadangan tersedia 90 miliar ton didapatkan uang Rp48.000 triliun. Serta cadangan aspal tersedia sampai 200 tahun ke depan dengan jumlah cadangan 3,8 miliar ton.
Mungkin istilah The Curse of resources atau the curse
of plenty masih terasa asing bagi sebagian pembaca. Disini penulis akan sedikit
memberikan gambaran singkat mengenai istilah ini serta kaitannya dengan
pembangunan berkelanjutan. The curse plenty dalam istilah indonesianya adalah
kutukan sumberdaya atau kutukan kekayaan. Sebenarnya istilah ini merupakan
istilah yang cukup popoler terutama bagi para ekonom dimana hal ini menjelaskan
bahwa di sebuah negara yang kaya akan sumberdaya alam akan tetapi kekayaan itu
tidak membuat negara tersebut maju contohnya di nigeria dan dibeberapa negara
afrika lainnya dimana emas hitam (minyak) yang melimpah di negara tersebut
tidak mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap pendapatan nasional negara
tersebut sehingga dengan banyaknya sumberdaya migas tersebut tidak menyebabkan
masyarakatnya makmur. hal ini telah banyak diteliti oleh para ahli bahwa yang
menyebabkan keadaan tersebut terjadi adalah akibat sistem kelembagaan suatu
negara dalam mengelola sumberdaya tersebut sangat buruk, banyaknya korupsi,
penyelewengan anggaran dsb. Hal inilah yang menyebabkan terjadinya the curse of
plenty di negara tersebut terjadi. Mengapa konsep ini penulis coba selipkan
dalam tulisan ini tidak lain dan tindakan saya hanya ingin mengingatkan bahwa
kita jangan pernah beranggapan bahwa banyaknya sektor tambang akan sejalan
dengan kemakmuran suatu daerah akan tetapi banyak hal yang harus menjadi
pertimbangannya terutama dalam hal pengelolaan sumberdaya tersebut agar
hasilnya bisa dirasakan oleh masyarakat. Contoh yang tidak terbantahkan bisa
dilihat dari kondisi pertambangan di papua dan Bangka Belitung, dimana pada
kedua daerah ini sumberdaya tambang yang melimpah justru telah menyebabkan beberapa
masaalah khususnya masaalah rusaknya lingkungan dan masalah sosial
kemasyarakatan yang dapat memicu terjadinya konflik horizontal. Coba kita
perhatikan dari beberapa pengalaman perusahan tambang yang masuk di sultra
selama ini misalnya di bombana dan konawe utara penulis menilai justru hanya
kerusakan alam yang didapatkan. Penulis coba memberikan gambaran mengapa Konsep
mengenai kawasan ekonomi khusus harus dikaji lebih mendalam lagi. penulis
menilai bahwa kita tidak siap menghadapi penerapan Kawasan Ekonomi Khusus
pertambagan. Banyak faktor yang menyebabkan itu misalnya kita tidak mempunyai
tenaga ahli dalam bidang pertambagan, kandungan sumberdaya yang jumlahnya tidak
jelas kapan habisnya, bertentangan dengan kebiasaan masyarakat kita yang umumnya
merupakan petani dan nelayan, belum ada daerah yang makmur dikarenakan
pertambagan. Setelah waktu kontrak pertambagan berakhir kita tidak mempunyai
teknologi untuk merestorasi bekas daerah pertambgan tersebut seperti yang
terjadi di bangka belitung atau daerah lain yang sudah terlebih dahulu
mengeksploitasi sumberdaya pertambagannya.
Krisis
pangan
Mengapa penulis memasukan
ancaman krisis pangan didunia dalam pembahasan mengenai intensifikasi
pertambangan. Tentunya ada berbagai alasan yang penulis akan coba jabarkan
secara singkat. Menurut FAO (Foof Agricultural Organization) baHwa ancaman
krisis pangan telah jelas terliahat dimana Food and Agriculture Organization (FAO) memperkirakan
jumlah penduduk yang kelaparan akibat kenaikan harga pangan akan bertambah 50
juta orang dari angka tahun 2007. Kenaikan harga pangan itu dipicu oleh
berbagai masalah. "Negara-negara miskin merasakan dampak yang serius dari
melonjaknya harga pangan dan energi," ujar Dirjen FAO Jacques Diouf
seperti dikutip dari situs FAO,
Senin (7/7/2008). Diouf menyatakan, krisis pangan saat ini merupakan kombinasi
dari berbagai faktor seperti meningkatnya permintaan produk pertanian
sehubungan dengan bertambahnya jumlah penduduk dan perkembangan ekonomi
negara-negara berkembang. Juga disebabkan oleh cepatnya ekspansi biofuel,
kurangnya suplai produksi pangan akibat masalah iklim terutama kekeringan dan
banjir. Dan pada saat yang sama, stok sereal hanya 409 juta ton, yang merupakan
level terendah dalam 30 tahun.
Krisis
pangan ini seharusnya menjadi tantangan sekaligus peluang bagi pemerintah
daerah untuk menggenjot usaha-usaha di sektor-sektor rill khususnya pertanian
dan perikanan. Karena ditengah-tengah permasalahan ekonomi yang sedang meililit
bangsa ini sudah seharusnya kita membangun ekonomi kerakyatan dengan
memanfaatkan potensi yang ada dalam suatu wilayah secara lebih serius basisnya
adalah pembangunan yang berkelanjutan dalam segala bidang.
Solusi
Tentunya
untuk menyeimbangkan tulisan ini tentunya saya memiliki konsep yang
mudahmudahan masuk akanl atau minimal menjadi pertimbangan bagi pemerintah
dalam mengambil keputusan ini.
1.
Pertama-tama konsep yang seharusnya menjadi acuan
dalam pembangunan adalah yang sifatnya berkelanjutan. Mungkin hal ini prosesnya
akan lebih lambat ketimbang kegiatan pertambangan akan tetapi melihat kondisi
masyarakat kita sebenarnya sangat mendukung apabila konsep ini diterapkan dan
saya yakin akan banyak mendapatkan aspirasi dari masyarakat Sultra. Contohnya
adalah pengoptimalan kegiatan-kegiatan pertanian dan perikanan. Rumput laut
misalnya. Komoditi ini merupakan salah satu komoditas ungguluan indonesia
dimana ekspor rumput laut indonesia jenis Euchema cottoni merupakan yang
terbesar di dunia bersama dengan Filipina dengan menambah sekitar 50 ha tambak
untuk budidaya rumput laut kan menghasilkan sekitar 600 ton rumput laut
pertahun atau senilai 10 M $ maerika tentunya hal ini merupakan peluang yang
sangat besar. Contoh lagi kalau senadainya pemerintah daripada melobi
pemerintah untuk menjadi KEK pertambagan lebih baik pemerintah melobi KEK untuk
pertanian khususnya cokelat bahkan kalau perlu melobi pemerintah untuk
mendirikan PTPN di Sultra. Hal ini juga bisa menyerap tenaga kerja yang sangat
banyak baik itu dari masyarakat terpelajar ataupun dari masyarakat biasa.
2.
Pemerintah harus menghitung seluruh biaya
operasional bilajadi terjadi intensifikasi pertambagan disultra bukan hanya
menghitung keuntungannya tetapi mengihtung seluruh kerugiannya. Mengapa harus
demikian agar menjadi eprtimbangan bagi pemerintah kalau memang kenutngannya
sama dengan kerugian maka sebaiknya intensifikasi pertambagan harus dicegah
(saya yakin kerugiannya lebih besar)
3.
Kalau memang pemerintah daerah tetap bersikukuh
untuk mnjalankan konsep KEK ini di Sultra (sebaiknya tidak) diperlukan persiapan
adanya persiapan-persiapan misalnya kita menyekolahkan putra daerha sesuai
dengan kebutuhan pemerintah daerha. Baru-baru ini pemerintah meluncurkan
beasiswa sebesar 1 M kepada putra daerah yang akan melanjutkan sekolah di
Universitas Negeri Semarang ini merupakan hal yang baik akan tetapi diperlukan
pengawasan yang ketat agar pelaksanaannya tidak sembarangan dan hanya golongan
tertentu yang mendapatkan beasiswa tersebut. Selain itu sebaiknya pemerinta
menentukan programstudi apa yang seharusnya ditempuh oleh penerima beasiswa
tersebut kaitannya dengan mendukung program pemerintah.
*Alumni
Prodi MSP FPIK Unhalu
*Mahasiswa
Pascasarjana PS SDP IPB Bogor
*
Anggota Forum Wacana Sultra IPB Bogor
Mohon
kritik dan sarannya ke robinbahari@gmail.com
agi seb � n k �C �/A ondisi ini semakin
mencekik masyarakat. Selanjutnya
disebutkan diatas berapa banyak yang akan kehilangan mata pencaharian
untuk memenuhi kebutuhan hidupnya kalaupun mereka bisa dialihkan menjadi
pekerja tambang maka untuk mengubah kebiasaan itu diperlukan waktu yang cukup
lama. Selain itu efek domino yang dihasilkannya seperti harga barang yang
sangat mahal munculnya tempat tempat hiburan (maksiat) seperti yang umumnya
ditunjukan pada daerah-daerah pertambangan misalnya di Bombana akan mengerus
nilai-nilai masyarakat yang telah lama ada. Kerusakan hutan yang ditimbulkannya
akan menyisakan penderitaan rakyat yang berkepanjangan, penyakit yang mungkin
akan mewabah karena kondisi alam yang rusak, organisme-organisme endemik akan
hilang belum lagi dampak kerusakan hutan yang mendorong terjadinya erosi ke
laut akan merusak ekosistem yang ada di laut sebagai akibat terjadinya
sedimentasi besar-besaran dan masih banyak lagi dampak negatif lainnya.
Pemerintah daerah seharusnya
lebih kreatif dalam mencari solusi untuk meningkatkan pendapatan daerah.
Seharusnya pemerintah melihat perkembangan yang teraktual yang terjadi secara
nasional maupun internasional. Salah satu contohnya bahwa jumlah penduduk dunia
yang diperkiraan akan mencapai 7 miliyar jiwa tentunya yang diperingatkan oleh
PBB adalah ancaman terjadinya krisis pangan, ini seharusnya menjadi tantangan
bagi pemerintah.
Luas daerah sultra yang sekitar wilayah
daratan seluas 38.140 km² (3.814.000 ha) dan perairan (laut) seluas 110.000 km² (11.000.000 ha) (Wikipedia.com)
tentunya banyak potensi daerah yang cukup ekonomis dan tetap ramah lingkungan
misalnya Kita mempunyai potensi cokelat yang sangat besar kalau diintesifkan
pasti akan menghasilkan keuntungan yang besar. Belum lagi kegiatan-kegiatan
pertanian dan perikanan lainnya seperti padi dan rumput laut yang kita miliki
sangat besar. sebagai contoh untuk budidaya rumput laut kalau misalnya ada 100
ha lokasi budidaya rumput laut dengan hasil 3 ton/ha (produksi rendah) dengan
harga berkiar antara Rp. 12.000-14.000 maka dalam satu kali masa panen kurang
lebih 45 hari akan dihasilkan sekitar 3 ½ M/panen. Anggap saja dalam setahun
itu terjadi 9 kali masa panen maka nilainya menjadi 32 M nilai yang sangat
besar untuk masyarakat kita sedangkan kita memiliki ratusan ribu hektar lahan
untuk budidaya rumput laut apalagi kalau di sultra terdapat pabrik karagenan tentunya
akan semakin meningkatkan nilai jual dari produk rumput laut yang pada akhirnya
akan menigkatkan pendapatan masyarakat. Kita juga belum mekasimalkan komoditi
yang lain misalnya budidaya gracillaria ditambak
atau budidaya ikan ekonomis penting seperti kerapu dan abalone berapa banyak
tambak-tambak yang tidak produktif. Kalau seandainya pemerintah serius untuk
menyokong program ini pastilah hasilnya juga akan lebih memuaskan tanpa harus
mengorbankan alam sulawesi tenggara dengan kekayaan tambang yang sifatnya
sementara. Harus diakui bahwa untuk mensukseskan rencana tersebut membutuhkan
waktu yang tidak singkat bila dibandingkan dengan industri pertambangan yang
kelihatanya memebrikan keuntungan yang lebih banyak dan cepat, akan tetapi
dengan melihat dampak yang akan diberikan kepada masyarakat sudah seharusnya
kegiatan-kegiatan yang ramah lingkungan harus menjadi prioritas utama. Maka dengan Merealisasikan Kebijakan
Kawasan Ekonomi Khusus Di Sultra dikhawatirkan Pemerintah daerah telah membawa
propinsi ini kearah kehancuran. Bukannya bersikap skeptis atau pesismis
dengan niat pemerintah untuk membangun daerah Sulawesi Tenggara tentunya
pemerintah memiliki niat yang baik, akan tetapi kebaikan niat saja belum cukup
seharusnya diperlukan perencanaan yang baik dan menyeluruh (konprehensif)
terhadap konsep ini. Berikut ini saya coba mengajukan beberapa pertanyaan
mengenai konsep KEK ini diantaranya:
1.
Apakah pemerintah sudah memperhatikan aspirasi
masyarakat daerah sulawesi tenggara mengenai konsep tersebut.
Memang
dari beberapa sumber pemerintah daerah telah mendapatkan lampu hijau dari DPR
Ri mengenai konsep KEK ini akan tetapi seharusnya pemerintah daerah harus
melihat dinamika yang terjadi dilapangan, dimana banyak seklai terjadi
demonstrasi menolak konsep tersebut. Hal ini menunjukan bahwa ada sesuatuyang
mengganjanl dihati masyarakat mengenai rencana pemerintah akan merealisasikan kawasan
ekonomi khusus di sultra.
2.
Persiapan apa saja yang sudah dlakukan pemerintah
untuk merealisasikan program ini?
Persiapan
yang dimaksud adalah pemerintah apakah telah mengadakan estimasi secara lebih
mendalam menegenai efek yang akan ditimbulkan sebelum dan sesudah KEK
dilaksanakan disultra. Memang setiap perusahaan harus mempunyai AMDAL akan
tetapi diperlukan tim Independen yang bisa merumuskan mengenai kondisi wilayah
yang akan terkena dampaknya karena selama ini kegiatan amdal “maaf” terkesan hanya merupakan legitimasi
proses penambangan di sultra.
3.
Sudahkah pemerintah menghitung kerugian yang
ditimbulkan oleh KEK ini bukan hanya menghitung keuntungannya???
Yang penulis maksudkan disini adalah apakah
pemerintah telah menginvetarisir semua yang berpotensi hilang ketika kebijakan
ini jadi diberlakukan dan menghitung semuanya dalam nilai uang sehingga
kerugian yang akan ditanggung dapat di ketahui.
4.
Bisakah pemerintah menjamin kesejahteraan
masyarakat apabila konsep ini jadinya diterapkan di sultra???
5.
Siapakah yang akan bertanggung jawab bila konsep
KEK ini tidak berjalan dengan baik dan menimbulkan kerusakan yang parah pada
lingkungan???
Pertanyaan
pertanyaan diatas seharusnya sudah ada dalam agenda pemerintah sebelum
menggodok rencana tersebut. Karena apabila tidak terencana dengan baik
dikhawatirkan program KEK yang semula ditujukan untuk kemakmuran rakyat akan
menjadi bumerang bukan hanya bagi pemerintah daerah sepenuhnya akan tetapi yang
paling mendapatkan dampaknya adalah masyarakat. Seharusnya pemerintah daerah
banyak belajar dari apa yang terjadi di daerah-daerah lain yang telah terlebih
dahulu melakukan intensifikasi pertambangan. Papua misalnya dimana adanya PT. Freeport tidak menjamin kemakmuran
masyarakat papua justru lebih menjadi pemicu konflik horizontal antara masyarakat
dengan perusahaan. Keuntungan dari perusahaan tersebut yang hanya sekitar 8
triliyun rupiah/ tahun hanya dinikmati oleh sedikit kalangan saja tidak heran
kalau Papua meminta merdeka. Contoh lain di Bangka Belitung yang merupakan pulau
Timah pertanyaan yang sama siapa yang menikmati Timah di sana??? hanya sebagian
kalangan yang menikmatinya dan masyarakat tidak mendapatkan apa-apa dari hasil
buminya tersebut, apalagi saat ini menurut penelitian bahwa timah di bangka
belitung tinggal kurang dari 7 tahun lagi, sekarang teman-teman mahasiswa dari
pulau tersebut sedang sibuk melakukan
upaya-upaya pemanfaatan lahan yang tidak digunakan lagi untuk pertambangan timah
tentunya ini menimbulkan masalah baru. Seharusnya hal itu bisa menjadi
pertimbangan pemerintah. Penulis meyakini hal ini sebenarnya sudah disadari
oleh pemerintah bahkan orang awam pun menyadari bahwa pertambangan itu dapat
merusak lingkungan akan tetapi mengapa pemerintah tetap ngotot untuk menerapkan
kebjakan itu di sultra??? jawabannya mungkin sudah ada dibenak kita masing-masing.
Tetapi menurut saya pemerintah provinsi cuman sedikit kurang kreatif saja dalam
membaca peluang dan lebih memilih proses instant dalam meningkatkan
perekonomian daerah. The Curse of the Plenty
Dari
hasil pemaparan bapak gubernur mengenai potensi barang tambang di sultra yang nilanya
woow..!!! fantastais yang nilainya mencapai puluhan
ribu triliyun, akan tetapi kita perlu konsekuensi pembangunan pasti akan
memberikan dampak sosial. Seharusnya metode yang diambil adalah mengedepankan
melihat mudharatnya daripada mengambil manfaatnya terlebih dahulu. inilah
konsep yang harus dicermati,, apalagi hal ini menyangkut pengambilan sumberdaya
alam yang sifatnya tidak sustain maka harus benar-benar mendapatkan pengkajian
yang mendalam. Bukannya bersikap skeptis atau anti pati dengan program
pemerintah. Kita sama sama meyakini
bahwa tujuannya pemerintah daerah pastinya untuk kemajuan masyarakat, akan
tetapi sekali lagi yang perlu ditekankan bahwa niat saja tidak cukup, akan
tetapi banyak pertimbangan-pertimbangan lain yang perlu diperhatikan
sebagaimana yang telah sebutkan diatas tadi.
Gubernur Sultra sudah
mendapatkan dukungan dari presiden RI dan anggota DPD RI terkait rencana Sultra
dijadikannya kawasan ekonomi khusus Pertambangan nasional usai memaparkan
kondisi kandungan sumber daya alam Sultra.
"Nur Alam dalam penjelasan seusai bertemu presiden, Jumat (21/1), mengatakan bahwa Sultra siap untuk dijadikan kawasan ekonomi khusus karena memiliki cadangan sumber daya alam yang melimpah khususnya jenis tambang emas, nikel dan aspal," ujar Hartono.Katanya, tim menghitung dari hasil emas dengan cadangan tersedia 1.125 juta ton akan didapatkan uang Rp337 ribu triliun, dari hasil nikel cadangan tersedia 90 miliar ton didapatkan uang Rp48.000 triliun. Serta cadangan aspal tersedia sampai 200 tahun ke depan dengan jumlah cadangan 3,8 miliar ton.
"Nur Alam dalam penjelasan seusai bertemu presiden, Jumat (21/1), mengatakan bahwa Sultra siap untuk dijadikan kawasan ekonomi khusus karena memiliki cadangan sumber daya alam yang melimpah khususnya jenis tambang emas, nikel dan aspal," ujar Hartono.Katanya, tim menghitung dari hasil emas dengan cadangan tersedia 1.125 juta ton akan didapatkan uang Rp337 ribu triliun, dari hasil nikel cadangan tersedia 90 miliar ton didapatkan uang Rp48.000 triliun. Serta cadangan aspal tersedia sampai 200 tahun ke depan dengan jumlah cadangan 3,8 miliar ton.
Mungkin istilah The Curse of resources atau the curse
of plenty masih terasa asing bagi sebagian pembaca. Disini penulis akan sedikit
memberikan gambaran singkat mengenai istilah ini serta kaitannya dengan
pembangunan berkelanjutan. The curse plenty dalam istilah indonesianya adalah
kutukan sumberdaya atau kutukan kekayaan. Sebenarnya istilah ini merupakan
istilah yang cukup popoler terutama bagi para ekonom dimana hal ini menjelaskan
bahwa di sebuah negara yang kaya akan sumberdaya alam akan tetapi kekayaan itu
tidak membuat negara tersebut maju contohnya di nigeria dan dibeberapa negara
afrika lainnya dimana emas hitam (minyak) yang melimpah di negara tersebut
tidak mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap pendapatan nasional negara
tersebut sehingga dengan banyaknya sumberdaya migas tersebut tidak menyebabkan
masyarakatnya makmur. hal ini telah banyak diteliti oleh para ahli bahwa yang
menyebabkan keadaan tersebut terjadi adalah akibat sistem kelembagaan suatu
negara dalam mengelola sumberdaya tersebut sangat buruk, banyaknya korupsi,
penyelewengan anggaran dsb. Hal inilah yang menyebabkan terjadinya the curse of
plenty di negara tersebut terjadi. Mengapa konsep ini penulis coba selipkan
dalam tulisan ini tidak lain dan tindakan saya hanya ingin mengingatkan bahwa
kita jangan pernah beranggapan bahwa banyaknya sektor tambang akan sejalan
dengan kemakmuran suatu daerah akan tetapi banyak hal yang harus menjadi
pertimbangannya terutama dalam hal pengelolaan sumberdaya tersebut agar
hasilnya bisa dirasakan oleh masyarakat. Contoh yang tidak terbantahkan bisa
dilihat dari kondisi pertambangan di papua dan Bangka Belitung, dimana pada
kedua daerah ini sumberdaya tambang yang melimpah justru telah menyebabkan beberapa
masaalah khususnya masaalah rusaknya lingkungan dan masalah sosial
kemasyarakatan yang dapat memicu terjadinya konflik horizontal. Coba kita
perhatikan dari beberapa pengalaman perusahan tambang yang masuk di sultra
selama ini misalnya di bombana dan konawe utara penulis menilai justru hanya
kerusakan alam yang didapatkan. Penulis coba memberikan gambaran mengapa Konsep
mengenai kawasan ekonomi khusus harus dikaji lebih mendalam lagi. penulis
menilai bahwa kita tidak siap menghadapi penerapan Kawasan Ekonomi Khusus
pertambagan. Banyak faktor yang menyebabkan itu misalnya kita tidak mempunyai
tenaga ahli dalam bidang pertambagan, kandungan sumberdaya yang jumlahnya tidak
jelas kapan habisnya, bertentangan dengan kebiasaan masyarakat kita yang umumnya
merupakan petani dan nelayan, belum ada daerah yang makmur dikarenakan
pertambagan. Setelah waktu kontrak pertambagan berakhir kita tidak mempunyai
teknologi untuk merestorasi bekas daerah pertambgan tersebut seperti yang
terjadi di bangka belitung atau daerah lain yang sudah terlebih dahulu
mengeksploitasi sumberdaya pertambagannya.
Krisis
pangan
Mengapa penulis memasukan
ancaman krisis pangan didunia dalam pembahasan mengenai intensifikasi
pertambangan. Tentunya ada berbagai alasan yang penulis akan coba jabarkan
secara singkat. Menurut FAO (Foof Agricultural Organization) baHwa ancaman
krisis pangan telah jelas terliahat dimana Food and Agriculture Organization (FAO) memperkirakan
jumlah penduduk yang kelaparan akibat kenaikan harga pangan akan bertambah 50
juta orang dari angka tahun 2007. Kenaikan harga pangan itu dipicu oleh
berbagai masalah. "Negara-negara miskin merasakan dampak yang serius dari
melonjaknya harga pangan dan energi," ujar Dirjen FAO Jacques Diouf
seperti dikutip dari situs FAO,
Senin (7/7/2008). Diouf menyatakan, krisis pangan saat ini merupakan kombinasi
dari berbagai faktor seperti meningkatnya permintaan produk pertanian
sehubungan dengan bertambahnya jumlah penduduk dan perkembangan ekonomi
negara-negara berkembang. Juga disebabkan oleh cepatnya ekspansi biofuel,
kurangnya suplai produksi pangan akibat masalah iklim terutama kekeringan dan
banjir. Dan pada saat yang sama, stok sereal hanya 409 juta ton, yang merupakan
level terendah dalam 30 tahun.
Krisis
pangan ini seharusnya menjadi tantangan sekaligus peluang bagi pemerintah
daerah untuk menggenjot usaha-usaha di sektor-sektor rill khususnya pertanian
dan perikanan. Karena ditengah-tengah permasalahan ekonomi yang sedang meililit
bangsa ini sudah seharusnya kita membangun ekonomi kerakyatan dengan
memanfaatkan potensi yang ada dalam suatu wilayah secara lebih serius basisnya
adalah pembangunan yang berkelanjutan dalam segala bidang.
Solusi
Tentunya
untuk menyeimbangkan tulisan ini tentunya saya memiliki konsep yang
mudahmudahan masuk akanl atau minimal menjadi pertimbangan bagi pemerintah
dalam mengambil keputusan ini.
1.
Pertama-tama konsep yang seharusnya menjadi acuan
dalam pembangunan adalah yang sifatnya berkelanjutan. Mungkin hal ini prosesnya
akan lebih lambat ketimbang kegiatan pertambangan akan tetapi melihat kondisi
masyarakat kita sebenarnya sangat mendukung apabila konsep ini diterapkan dan
saya yakin akan banyak mendapatkan aspirasi dari masyarakat Sultra. Contohnya
adalah pengoptimalan kegiatan-kegiatan pertanian dan perikanan. Rumput laut
misalnya. Komoditi ini merupakan salah satu komoditas ungguluan indonesia
dimana ekspor rumput laut indonesia jenis Euchema cottoni merupakan yang
terbesar di dunia bersama dengan Filipina dengan menambah sekitar 50 ha tambak
untuk budidaya rumput laut kan menghasilkan sekitar 600 ton rumput laut
pertahun atau senilai 10 M $ maerika tentunya hal ini merupakan peluang yang
sangat besar. Contoh lagi kalau senadainya pemerintah daripada melobi
pemerintah untuk menjadi KEK pertambagan lebih baik pemerintah melobi KEK untuk
pertanian khususnya cokelat bahkan kalau perlu melobi pemerintah untuk
mendirikan PTPN di Sultra. Hal ini juga bisa menyerap tenaga kerja yang sangat
banyak baik itu dari masyarakat terpelajar ataupun dari masyarakat biasa.
2.
Pemerintah harus menghitung seluruh biaya
operasional bilajadi terjadi intensifikasi pertambagan disultra bukan hanya
menghitung keuntungannya tetapi mengihtung seluruh kerugiannya. Mengapa harus
demikian agar menjadi eprtimbangan bagi pemerintah kalau memang kenutngannya
sama dengan kerugian maka sebaiknya intensifikasi pertambagan harus dicegah
(saya yakin kerugiannya lebih besar)
3.
Kalau memang pemerintah daerah tetap bersikukuh
untuk mnjalankan konsep KEK ini di Sultra (sebaiknya tidak) diperlukan persiapan
adanya persiapan-persiapan misalnya kita menyekolahkan putra daerha sesuai
dengan kebutuhan pemerintah daerha. Baru-baru ini pemerintah meluncurkan
beasiswa sebesar 1 M kepada putra daerah yang akan melanjutkan sekolah di
Universitas Negeri Semarang ini merupakan hal yang baik akan tetapi diperlukan
pengawasan yang ketat agar pelaksanaannya tidak sembarangan dan hanya golongan
tertentu yang mendapatkan beasiswa tersebut. Selain itu sebaiknya pemerinta
menentukan programstudi apa yang seharusnya ditempuh oleh penerima beasiswa
tersebut kaitannya dengan mendukung program pemerintah.
*Alumni
Prodi MSP FPIK Unhalu
*Mahasiswa
Pascasarjana PS SDP IPB Bogor
*
Anggota Forum Wacana Sultra IPB Bogor
Mohon
kritik dan sarannya ke robinbahari@gmail.com
agi seb � n k �C �/A
Tidak ada komentar:
Posting Komentar