Sabtu, 26 Mei 2012

pertambangan diantara mengatasi masalah dan menimbulkan masalah


MENUJU PEMBANGUNAN SULTRA YANG BERKELANJUTAN
(analisis rencana penetapan kawasan ekonomi khusus pertambangan)
Oleh:
Robin**









Apa itu Pembangunan berkelanjutan???

Sebelum membahas tentang bagaimana pengelolaan yang berkelanjatutan ada baiknya kita  harus mengetahui tentang latar belakang pembangunan berkelanjutan itu. Perbincangan tentang “Pembangunan Berkelanjutan” atau “suistainable development” sebenarnya bukanlah suatu hal yang baru, baik dilihat secara global maupun nasional. Namun dalam pelaksanaannya masih belum dipahami dengan baik dan oleh karenanya masih menunjukkan banyak kerancuan pada tingkat kebijakan dan pengaturan dan mempunyai banyak gejala pada tatanan implementasi atau pelaksana. Sebagai sebuah konsep, pembangunan yang berkelanjutan yang mengandung pengertian sebagai pembangunan yang “memperhatikan” dan “mempertimbangkan” dimensi lingkungan hidup dalam pelaksanaannya sudah menjadi topik pembicaraan dalam konferensi Stockholm (UN Conference on the Human Environment) tahun 1972 yang menganjurkan agar pembangunan dilaksanakan dengan memperhatikan faktor lingkungan (Soerjani, 1977: 66), menurut Sundari Rangkuti Konferensi Stocholm membahas masalah lingkungan serta jalan keluarnya, agar pembangunan dapat terlaksana dengan memperhitungkan daya dukung lingkungan (eco-development) (Rangkuti,2000:27)
Dilaksanakannya konferensi tersebut adalah sejalan dengan keinginan dari PBB untuk menanggulangi dan memperbaiki kerusakan lingkungan yang terjadi. Bertepatan dengan di umumkannya “Strategi Pembangunan Internasional” bagi “Dasawarsa Pembangunan Dunia ke–2 “(The Second UN Development Decade) yang dimulai pada tanggal 1 Juni 1970, Sidang Umum PBB menyerukan untuk meningkatkan usaha dan tindakan nasional serta Internasional guna menanggulangi “proses pemerosotan kualitas lingkungan hidup” agar dapat diselamatkan keseimbangan dan keserasian ekologis, demi kelangsungan hidup manusia, secara khusus resolusi Sidang Umum PBB No. 2657 (XXV) Tahun 1970 menugaskan kepada Panitia Persiapan untuk mencurahkan perhatian kepada usaha “melindungi dan mengembangkan kepentingan-kepentingan negara yang sedang berkembang” dengan menyesuaikan dan memperpadukan secara serasi kebijakan nasional di bidang lingkungan hidup dengan rencana Pembangunan Nasional, berikut skala prioritasnya (Hardjasoemantri, 200:7). Amanat inilah yang kemudian dikembangkan dan menjadi hasil dari Konferensi Stocholm yang dapat dianggap sebagai dasar-dasar atau cikal bakal konsep “Pembangunan Berkelanjutan”. Selanjutnya dalam undang-undang no. 32 tahun 2009 tentang pengelolaan lingkungan hidup juga sangat menekaankan mengenai pembangunan yang berkelanjutan. Hal inilah yang menyebabkan keberlanjutan suatu sumberdaya akibat pembangunan menjadi prioritas utama yang harus diperhatikan dalam pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan.

Mengapa harus berkelanjutan??

Suatu pembangunan dalam skala yang lebih luas ataupun skala yang lebih kecil seharusnya harus mempunyai prinsip berkelanjutan, bagaimana tidak sumberdaya yang dimiliki suatu daerah pada hakikatnya bukan hanya dapat digunakan untuk generasi sekarang akan tetapi harus dapat dinikmati oleh anak cucu kita dimasa yang akan datang. Itulah sebabnya keberlanjutan dalam suatu kegiatan sangat diutamakan bukan hanya keuntungan yang sifatnya sementara namun tidak dapat diwariskan kepada generasi yang akan datang. Ditengah-tengah arus globalisasi dan krisis global yang merasuki setiap sendi kehidupan masyarakat (multidimensi) misalnya pemanasan global, krisis energi krisis pangan dan masih banyak lagi krisis-krisis yang lain, Tentunya akan sangat mempengaruhi tatanan kehidupan masyarakat. Melihat kondisi seperti ini pemerintah seharusnya harus mewaspadai efek yang ditimbulkan oleh krisis seperti ini dengan melihat atau mengembangkan potensi yang dimiliki daerah secara lebih bijaksana. Sulawesi Tenggara merupakan daerah yang sangat kaya akan sumberdaya alam khususnya dalam bidang pertanian dan perikanan namun pemerintah belum menggenjot upaya-upaya agar potensi tersebut dapat termanfaatkan secara maksimal. Lebih mengejutkan lagi justru pemerintah daerah Sulawesi Tenggara tengah memperjuangkan sultra sebagai daerah intensifikasi dan ekstensifikasi pertambangan nasional.
Mengenai arah kebijakan pembangunan Sulawesi Tenggara yang akhir-akhir ini sedang hangat-hangatnya dibahas yaitu mengenai Intensifikasi dan ekstensifikasi Pertambangan (Baca: Kawasan Ekonomi Khusus Pertambangan), pemerintah daerah terkesan terlalu memprioritaskan kegiatan pertambangan dan kelihatannya cenderung menganaktirikan potensi-potensi daerah lainnya seperti pertanian dan perikanan. Kegiatan pertambangan merupakan salah satu sumber pendapatan daerah yang sangat besar apa lagi kalau dikelola secara baik. Kita bersama-sama menyadari bahwa intensifikasi dan ekstensifikasi pertambangan di Sultra akan mengubah kondisi sosial dan ekonomi masyarakat Sultra secara radikal. Mengutip pernyataan salah satu Dosen Antropologi Fisip Unhalu, Winesty. menuturkan bahwa semua pembangunan tentunya menimbulkan perubahan sosial, hanya saja perlu dilihat apakah mengarah kepada dampak positif atau negatif.  Konsekuensi pembangunan yang mengarah pada perubahan sosial dan budaya, misalnya mata pencaharian sebagai petani yang sekaligus pemilik sawah atau kebun, berubah menjadi pekerja tambang, karena tanahnya telah dijual.  “Ironisnya jika yang tadinya mereka merupakan produsen bahan pangan malah berubah menjadi konsumen, dan terpaksa membeli bahan pangan dengan harga lebih mahal,"
Selain itu terjadi pula perubahan pola hidup. Misal, tadinya ritme (irama) kerja agraris kemudian berubah menjadi irama perusahaan yaitu jam kerja ditentukan, demikian pula dengan penghasilan yang akan mempengaruhi pola konsumsi cenderung instantBerbeda dengan awalnya yang agraris meskipun polanya lebih lambat tetapi mampu menjadi produsen bagi dirinya sendiri (Plus Minus Perusahaan Tambang di Sultra. Kendari pos)

Pergeseran pola kehidupan masyarakat seperti yang disebutkan diatas jika diteliti lagi akan sangat berbahaya bagi keberlanjutan suatu sistem masyarakat yang sudah lama terbangun, dimana intensifikasi dan ekstensifikasi pertambangan akan memerlukan peningkatan upaya dan ekspansi kawasan yang akan ditambang sehingga akan mereduksi luas kawasan hutan secara besar-besaran. Kebisaan masyarakat untuk bertani yang bisa menghasilkan makanan sendiri akan berubah menjadi konsumen yang akan memberikan beban kepada keperluan pangan secara nasional sehingga akan timbul kekhawatiran akan terjadinya krisis pangan di sultra, selain itu peningkatan harga-harga pangan akan semakin meningkat yang bagi sebagian kalangan kondisi ini semakin mencekik masyarakat. Selanjutnya  disebutkan diatas berapa banyak yang akan kehilangan mata pencaharian untuk memenuhi kebutuhan hidupnya kalaupun mereka bisa dialihkan menjadi pekerja tambang maka untuk mengubah kebiasaan itu diperlukan waktu yang cukup lama. Selain itu efek domino yang dihasilkannya seperti harga barang yang sangat mahal munculnya tempat tempat hiburan (maksiat) seperti yang umumnya ditunjukan pada daerah-daerah pertambangan misalnya di Bombana akan mengerus nilai-nilai masyarakat yang telah lama ada. Kerusakan hutan yang ditimbulkannya akan menyisakan penderitaan rakyat yang berkepanjangan, penyakit yang mungkin akan mewabah karena kondisi alam yang rusak, organisme-organisme endemik akan hilang belum lagi dampak kerusakan hutan yang mendorong terjadinya erosi ke laut akan merusak ekosistem yang ada di laut sebagai akibat terjadinya sedimentasi besar-besaran dan masih banyak lagi dampak negatif lainnya.
Pemerintah daerah seharusnya lebih kreatif dalam mencari solusi untuk meningkatkan pendapatan daerah. Seharusnya pemerintah melihat perkembangan yang teraktual yang terjadi secara nasional maupun internasional. Salah satu contohnya bahwa jumlah penduduk dunia yang diperkiraan akan mencapai 7 miliyar jiwa tentunya yang diperingatkan oleh PBB adalah ancaman terjadinya krisis pangan, ini seharusnya menjadi tantangan bagi pemerintah.
 Luas daerah sultra yang sekitar wilayah daratan seluas 38.140 km² (3.814.000 ha) dan perairan (laut) seluas 110.000 km² (11.000.000 ha) (Wikipedia.com) tentunya banyak potensi daerah yang cukup ekonomis dan tetap ramah lingkungan misalnya Kita mempunyai potensi cokelat yang sangat besar kalau diintesifkan pasti akan menghasilkan keuntungan yang besar. Belum lagi kegiatan-kegiatan pertanian dan perikanan lainnya seperti padi dan rumput laut yang kita miliki sangat besar. sebagai contoh untuk budidaya rumput laut kalau misalnya ada 100 ha lokasi budidaya rumput laut dengan hasil 3 ton/ha (produksi rendah) dengan harga berkiar antara Rp. 12.000-14.000 maka dalam satu kali masa panen kurang lebih 45 hari akan dihasilkan sekitar 3 ½ M/panen. Anggap saja dalam setahun itu terjadi 9 kali masa panen maka nilainya menjadi 32 M nilai yang sangat besar untuk masyarakat kita sedangkan kita memiliki ratusan ribu hektar lahan untuk budidaya rumput laut apalagi kalau di sultra terdapat pabrik karagenan tentunya akan semakin meningkatkan nilai jual dari produk rumput laut yang pada akhirnya akan menigkatkan pendapatan masyarakat. Kita juga belum mekasimalkan komoditi yang lain misalnya budidaya gracillaria ditambak atau budidaya ikan ekonomis penting seperti kerapu dan abalone berapa banyak tambak-tambak yang tidak produktif. Kalau seandainya pemerintah serius untuk menyokong program ini pastilah hasilnya juga akan lebih memuaskan tanpa harus mengorbankan alam sulawesi tenggara dengan kekayaan tambang yang sifatnya sementara. Harus diakui bahwa untuk mensukseskan rencana tersebut membutuhkan waktu yang tidak singkat bila dibandingkan dengan industri pertambangan yang kelihatanya memebrikan keuntungan yang lebih banyak dan cepat, akan tetapi dengan melihat dampak yang akan diberikan kepada masyarakat sudah seharusnya kegiatan-kegiatan yang ramah lingkungan harus menjadi prioritas utama. Maka dengan Merealisasikan Kebijakan Kawasan Ekonomi Khusus Di Sultra dikhawatirkan Pemerintah daerah telah membawa propinsi ini kearah kehancuran. Bukannya bersikap skeptis atau pesismis dengan niat pemerintah untuk membangun daerah Sulawesi Tenggara tentunya pemerintah memiliki niat yang baik, akan tetapi kebaikan niat saja belum cukup seharusnya diperlukan perencanaan yang baik dan menyeluruh (konprehensif) terhadap konsep ini. Berikut ini saya coba mengajukan beberapa pertanyaan mengenai  konsep KEK ini diantaranya:
1.             Apakah  pemerintah sudah memperhatikan aspirasi masyarakat daerah sulawesi tenggara mengenai konsep tersebut.
Memang dari beberapa sumber pemerintah daerah telah mendapatkan lampu hijau dari DPR Ri mengenai konsep KEK ini akan tetapi seharusnya pemerintah daerah harus melihat dinamika yang terjadi dilapangan, dimana banyak seklai terjadi demonstrasi menolak konsep tersebut. Hal ini menunjukan bahwa ada sesuatuyang mengganjanl dihati masyarakat mengenai rencana pemerintah akan merealisasikan kawasan ekonomi khusus di sultra.
2.             Persiapan apa saja yang sudah dlakukan pemerintah untuk merealisasikan program ini?
Persiapan yang dimaksud adalah pemerintah apakah telah mengadakan estimasi secara lebih mendalam menegenai efek yang akan ditimbulkan sebelum dan sesudah KEK dilaksanakan disultra. Memang setiap perusahaan harus mempunyai AMDAL akan tetapi diperlukan tim Independen yang bisa merumuskan mengenai kondisi wilayah yang akan terkena dampaknya karena selama ini kegiatan amdal “maaf” terkesan hanya merupakan legitimasi proses penambangan di sultra.
3.            Sudahkah pemerintah menghitung kerugian yang ditimbulkan oleh KEK ini bukan hanya menghitung keuntungannya???
Yang penulis maksudkan disini adalah apakah pemerintah telah menginvetarisir semua yang berpotensi hilang ketika kebijakan ini jadi diberlakukan dan menghitung semuanya dalam nilai uang sehingga kerugian yang akan ditanggung dapat di ketahui.
4.            Bisakah pemerintah menjamin kesejahteraan masyarakat apabila konsep ini jadinya diterapkan di sultra???

5.            Siapakah yang akan bertanggung jawab bila konsep KEK ini tidak berjalan dengan baik dan menimbulkan kerusakan yang parah pada lingkungan???

Pertanyaan pertanyaan diatas seharusnya sudah ada dalam agenda pemerintah sebelum menggodok rencana tersebut. Karena apabila tidak terencana dengan baik dikhawatirkan program KEK yang semula ditujukan untuk kemakmuran rakyat akan menjadi bumerang bukan hanya bagi pemerintah daerah sepenuhnya akan tetapi yang paling mendapatkan dampaknya adalah masyarakat. Seharusnya pemerintah daerah banyak belajar dari apa yang terjadi di daerah-daerah lain yang telah terlebih dahulu melakukan intensifikasi pertambangan. Papua misalnya dimana adanya  PT. Freeport tidak menjamin kemakmuran masyarakat papua justru lebih menjadi pemicu konflik horizontal antara masyarakat dengan perusahaan. Keuntungan dari perusahaan tersebut yang hanya sekitar 8 triliyun rupiah/ tahun hanya dinikmati oleh sedikit kalangan saja tidak heran kalau Papua meminta merdeka. Contoh lain di Bangka Belitung yang merupakan pulau Timah pertanyaan yang sama siapa yang menikmati Timah di sana??? hanya sebagian kalangan yang menikmatinya dan masyarakat tidak mendapatkan apa-apa dari hasil buminya tersebut, apalagi saat ini menurut penelitian bahwa timah di bangka belitung tinggal kurang dari 7 tahun lagi, sekarang teman-teman mahasiswa dari pulau  tersebut sedang sibuk melakukan upaya-upaya pemanfaatan lahan yang tidak digunakan lagi untuk pertambangan timah tentunya ini menimbulkan masalah baru. Seharusnya hal itu bisa menjadi pertimbangan pemerintah. Penulis meyakini hal ini sebenarnya sudah disadari oleh pemerintah bahkan orang awam pun menyadari bahwa pertambangan itu dapat merusak lingkungan akan tetapi mengapa pemerintah tetap ngotot untuk menerapkan kebjakan itu di sultra??? jawabannya mungkin sudah ada dibenak kita masing-masing. Tetapi menurut saya pemerintah provinsi cuman sedikit kurang kreatif saja dalam membaca peluang dan lebih memilih proses instant dalam meningkatkan perekonomian daerah.
 The Curse of the Plenty
Dari hasil pemaparan bapak gubernur mengenai potensi barang tambang di sultra yang nilanya woow..!!! fantastais yang nilainya mencapai puluhan ribu triliyun, akan tetapi kita perlu konsekuensi pembangunan pasti akan memberikan dampak sosial. Seharusnya metode yang diambil adalah mengedepankan melihat mudharatnya daripada mengambil manfaatnya terlebih dahulu. inilah konsep yang harus dicermati,, apalagi hal ini menyangkut pengambilan sumberdaya alam yang sifatnya tidak sustain maka harus benar-benar mendapatkan pengkajian yang mendalam. Bukannya bersikap skeptis atau anti pati dengan program pemerintah. Kita sama sama  meyakini bahwa tujuannya pemerintah daerah pastinya untuk kemajuan masyarakat, akan tetapi sekali lagi yang perlu ditekankan bahwa niat saja tidak cukup, akan tetapi banyak pertimbangan-pertimbangan lain yang perlu diperhatikan sebagaimana yang telah sebutkan diatas tadi.
Gubernur Sultra sudah mendapatkan dukungan dari presiden RI dan anggota DPD RI terkait rencana Sultra dijadikannya kawasan ekonomi khusus Pertambangan nasional usai memaparkan kondisi kandungan sumber daya alam Sultra.
"Nur Alam dalam penjelasan seusai bertemu presiden, Jumat (21/1), mengatakan bahwa Sultra siap untuk dijadikan kawasan ekonomi khusus karena memiliki cadangan sumber daya alam yang melimpah khususnya jenis tambang emas, nikel dan aspal," ujar Hartono.Katanya, tim menghitung dari hasil emas dengan cadangan tersedia 1.125 juta ton akan didapatkan uang Rp337 ribu triliun, dari hasil nikel cadangan tersedia 90 miliar ton didapatkan uang Rp48.000 triliun. Serta cadangan aspal tersedia sampai 200 tahun ke depan dengan jumlah cadangan 3,8 miliar ton.
Mungkin  istilah The Curse of resources atau the curse of plenty masih terasa asing bagi sebagian pembaca. Disini penulis akan sedikit memberikan gambaran singkat mengenai istilah ini serta kaitannya dengan pembangunan berkelanjutan. The curse plenty dalam istilah indonesianya adalah kutukan sumberdaya atau kutukan kekayaan. Sebenarnya istilah ini merupakan istilah yang cukup popoler terutama bagi para ekonom dimana hal ini menjelaskan bahwa di sebuah negara yang kaya akan sumberdaya alam akan tetapi kekayaan itu tidak membuat negara tersebut maju contohnya di nigeria dan dibeberapa negara afrika lainnya dimana emas hitam (minyak) yang melimpah di negara tersebut tidak mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap pendapatan nasional negara tersebut sehingga dengan banyaknya sumberdaya migas tersebut tidak menyebabkan masyarakatnya makmur. hal ini telah banyak diteliti oleh para ahli bahwa yang menyebabkan keadaan tersebut terjadi adalah akibat sistem kelembagaan suatu negara dalam mengelola sumberdaya tersebut sangat buruk, banyaknya korupsi, penyelewengan anggaran dsb. Hal inilah yang menyebabkan terjadinya the curse of plenty di negara tersebut terjadi. Mengapa konsep ini penulis coba selipkan dalam tulisan ini tidak lain dan tindakan saya hanya ingin mengingatkan bahwa kita jangan pernah beranggapan bahwa banyaknya sektor tambang akan sejalan dengan kemakmuran suatu daerah akan tetapi banyak hal yang harus menjadi pertimbangannya terutama dalam hal pengelolaan sumberdaya tersebut agar hasilnya bisa dirasakan oleh masyarakat. Contoh yang tidak terbantahkan bisa dilihat dari kondisi pertambangan di papua dan Bangka Belitung, dimana pada kedua daerah ini sumberdaya tambang yang melimpah justru telah menyebabkan beberapa masaalah khususnya masaalah rusaknya lingkungan dan masalah sosial kemasyarakatan yang dapat memicu terjadinya konflik horizontal. Coba kita perhatikan dari beberapa pengalaman perusahan tambang yang masuk di sultra selama ini misalnya di bombana dan konawe utara penulis menilai justru hanya kerusakan alam yang didapatkan. Penulis coba memberikan gambaran mengapa Konsep mengenai kawasan ekonomi khusus harus dikaji lebih mendalam lagi. penulis menilai bahwa kita tidak siap menghadapi penerapan Kawasan Ekonomi Khusus pertambagan. Banyak faktor yang menyebabkan itu misalnya kita tidak mempunyai tenaga ahli dalam bidang pertambagan, kandungan sumberdaya yang jumlahnya tidak jelas kapan habisnya, bertentangan dengan kebiasaan masyarakat kita yang umumnya merupakan petani dan nelayan, belum ada daerah yang makmur dikarenakan pertambagan. Setelah waktu kontrak pertambagan berakhir kita tidak mempunyai teknologi untuk merestorasi bekas daerah pertambgan tersebut seperti yang terjadi di bangka belitung atau daerah lain yang sudah terlebih dahulu mengeksploitasi sumberdaya pertambagannya.

Krisis pangan
Mengapa penulis memasukan ancaman krisis pangan didunia dalam pembahasan mengenai intensifikasi pertambangan. Tentunya ada berbagai alasan yang penulis akan coba jabarkan secara singkat. Menurut FAO (Foof Agricultural Organization) baHwa ancaman krisis pangan telah jelas terliahat dimana  Food and Agriculture Organization (FAO) memperkirakan jumlah penduduk yang kelaparan akibat kenaikan harga pangan akan bertambah 50 juta orang dari angka tahun 2007. Kenaikan harga pangan itu dipicu oleh berbagai masalah. "Negara-negara miskin merasakan dampak yang serius dari melonjaknya harga pangan dan energi," ujar Dirjen FAO Jacques Diouf seperti dikutip dari situs FAO, Senin (7/7/2008). Diouf menyatakan, krisis pangan saat ini merupakan kombinasi dari berbagai faktor seperti meningkatnya permintaan produk pertanian sehubungan dengan bertambahnya jumlah penduduk dan perkembangan ekonomi negara-negara berkembang. Juga disebabkan oleh cepatnya ekspansi biofuel, kurangnya suplai produksi pangan akibat masalah iklim terutama kekeringan dan banjir. Dan pada saat yang sama, stok sereal hanya 409 juta ton, yang merupakan level terendah dalam 30 tahun.

Krisis pangan ini seharusnya menjadi tantangan sekaligus peluang bagi pemerintah daerah untuk menggenjot usaha-usaha di sektor-sektor rill khususnya pertanian dan perikanan. Karena ditengah-tengah permasalahan ekonomi yang sedang meililit bangsa ini sudah seharusnya kita membangun ekonomi kerakyatan dengan memanfaatkan potensi yang ada dalam suatu wilayah secara lebih serius basisnya adalah pembangunan yang berkelanjutan dalam segala bidang.

Solusi
Tentunya untuk menyeimbangkan tulisan ini tentunya saya memiliki konsep yang mudahmudahan masuk akanl atau minimal menjadi pertimbangan bagi pemerintah dalam mengambil keputusan ini.
1.            Pertama-tama konsep yang seharusnya menjadi acuan dalam pembangunan adalah yang sifatnya berkelanjutan. Mungkin hal ini prosesnya akan lebih lambat ketimbang kegiatan pertambangan akan tetapi melihat kondisi masyarakat kita sebenarnya sangat mendukung apabila konsep ini diterapkan dan saya yakin akan banyak mendapatkan aspirasi dari masyarakat Sultra. Contohnya adalah pengoptimalan kegiatan-kegiatan pertanian dan perikanan. Rumput laut misalnya. Komoditi ini merupakan salah satu komoditas ungguluan indonesia dimana ekspor rumput laut indonesia jenis Euchema cottoni merupakan yang terbesar di dunia bersama dengan Filipina dengan menambah sekitar 50 ha tambak untuk budidaya rumput laut kan menghasilkan sekitar 600 ton rumput laut pertahun atau senilai 10 M $ maerika tentunya hal ini merupakan peluang yang sangat besar. Contoh lagi kalau senadainya pemerintah daripada melobi pemerintah untuk menjadi KEK pertambagan lebih baik pemerintah melobi KEK untuk pertanian khususnya cokelat bahkan kalau perlu melobi pemerintah untuk mendirikan PTPN di Sultra. Hal ini juga bisa menyerap tenaga kerja yang sangat banyak baik itu dari masyarakat terpelajar ataupun dari masyarakat biasa.
2.             Pemerintah harus menghitung seluruh biaya operasional bilajadi terjadi intensifikasi pertambagan disultra bukan hanya menghitung keuntungannya tetapi mengihtung seluruh kerugiannya. Mengapa harus demikian agar menjadi eprtimbangan bagi pemerintah kalau memang kenutngannya sama dengan kerugian maka sebaiknya intensifikasi pertambagan harus dicegah (saya yakin kerugiannya lebih besar)
3.             Kalau memang pemerintah daerah tetap bersikukuh untuk mnjalankan konsep KEK ini di Sultra (sebaiknya tidak) diperlukan persiapan adanya persiapan-persiapan misalnya kita menyekolahkan putra daerha sesuai dengan kebutuhan pemerintah daerha. Baru-baru ini pemerintah meluncurkan beasiswa sebesar 1 M kepada putra daerah yang akan melanjutkan sekolah di Universitas Negeri Semarang ini merupakan hal yang baik akan tetapi diperlukan pengawasan yang ketat agar pelaksanaannya tidak sembarangan dan hanya golongan tertentu yang mendapatkan beasiswa tersebut. Selain itu sebaiknya pemerinta menentukan programstudi apa yang seharusnya ditempuh oleh penerima beasiswa tersebut kaitannya dengan mendukung program pemerintah.


*Alumni Prodi MSP FPIK Unhalu
*Mahasiswa Pascasarjana PS SDP IPB Bogor
* Anggota Forum Wacana Sultra IPB Bogor

Mohon kritik dan sarannya ke robinbahari@gmail.com
agi seb � n k �C �/A ondisi ini semakin mencekik masyarakat. Selanjutnya  disebutkan diatas berapa banyak yang akan kehilangan mata pencaharian untuk memenuhi kebutuhan hidupnya kalaupun mereka bisa dialihkan menjadi pekerja tambang maka untuk mengubah kebiasaan itu diperlukan waktu yang cukup lama. Selain itu efek domino yang dihasilkannya seperti harga barang yang sangat mahal munculnya tempat tempat hiburan (maksiat) seperti yang umumnya ditunjukan pada daerah-daerah pertambangan misalnya di Bombana akan mengerus nilai-nilai masyarakat yang telah lama ada. Kerusakan hutan yang ditimbulkannya akan menyisakan penderitaan rakyat yang berkepanjangan, penyakit yang mungkin akan mewabah karena kondisi alam yang rusak, organisme-organisme endemik akan hilang belum lagi dampak kerusakan hutan yang mendorong terjadinya erosi ke laut akan merusak ekosistem yang ada di laut sebagai akibat terjadinya sedimentasi besar-besaran dan masih banyak lagi dampak negatif lainnya.
Pemerintah daerah seharusnya lebih kreatif dalam mencari solusi untuk meningkatkan pendapatan daerah. Seharusnya pemerintah melihat perkembangan yang teraktual yang terjadi secara nasional maupun internasional. Salah satu contohnya bahwa jumlah penduduk dunia yang diperkiraan akan mencapai 7 miliyar jiwa tentunya yang diperingatkan oleh PBB adalah ancaman terjadinya krisis pangan, ini seharusnya menjadi tantangan bagi pemerintah.
 Luas daerah sultra yang sekitar wilayah daratan seluas 38.140 km² (3.814.000 ha) dan perairan (laut) seluas 110.000 km² (11.000.000 ha) (Wikipedia.com) tentunya banyak potensi daerah yang cukup ekonomis dan tetap ramah lingkungan misalnya Kita mempunyai potensi cokelat yang sangat besar kalau diintesifkan pasti akan menghasilkan keuntungan yang besar. Belum lagi kegiatan-kegiatan pertanian dan perikanan lainnya seperti padi dan rumput laut yang kita miliki sangat besar. sebagai contoh untuk budidaya rumput laut kalau misalnya ada 100 ha lokasi budidaya rumput laut dengan hasil 3 ton/ha (produksi rendah) dengan harga berkiar antara Rp. 12.000-14.000 maka dalam satu kali masa panen kurang lebih 45 hari akan dihasilkan sekitar 3 ½ M/panen. Anggap saja dalam setahun itu terjadi 9 kali masa panen maka nilainya menjadi 32 M nilai yang sangat besar untuk masyarakat kita sedangkan kita memiliki ratusan ribu hektar lahan untuk budidaya rumput laut apalagi kalau di sultra terdapat pabrik karagenan tentunya akan semakin meningkatkan nilai jual dari produk rumput laut yang pada akhirnya akan menigkatkan pendapatan masyarakat. Kita juga belum mekasimalkan komoditi yang lain misalnya budidaya gracillaria ditambak atau budidaya ikan ekonomis penting seperti kerapu dan abalone berapa banyak tambak-tambak yang tidak produktif. Kalau seandainya pemerintah serius untuk menyokong program ini pastilah hasilnya juga akan lebih memuaskan tanpa harus mengorbankan alam sulawesi tenggara dengan kekayaan tambang yang sifatnya sementara. Harus diakui bahwa untuk mensukseskan rencana tersebut membutuhkan waktu yang tidak singkat bila dibandingkan dengan industri pertambangan yang kelihatanya memebrikan keuntungan yang lebih banyak dan cepat, akan tetapi dengan melihat dampak yang akan diberikan kepada masyarakat sudah seharusnya kegiatan-kegiatan yang ramah lingkungan harus menjadi prioritas utama. Maka dengan Merealisasikan Kebijakan Kawasan Ekonomi Khusus Di Sultra dikhawatirkan Pemerintah daerah telah membawa propinsi ini kearah kehancuran. Bukannya bersikap skeptis atau pesismis dengan niat pemerintah untuk membangun daerah Sulawesi Tenggara tentunya pemerintah memiliki niat yang baik, akan tetapi kebaikan niat saja belum cukup seharusnya diperlukan perencanaan yang baik dan menyeluruh (konprehensif) terhadap konsep ini. Berikut ini saya coba mengajukan beberapa pertanyaan mengenai  konsep KEK ini diantaranya:
1.             Apakah  pemerintah sudah memperhatikan aspirasi masyarakat daerah sulawesi tenggara mengenai konsep tersebut.
Memang dari beberapa sumber pemerintah daerah telah mendapatkan lampu hijau dari DPR Ri mengenai konsep KEK ini akan tetapi seharusnya pemerintah daerah harus melihat dinamika yang terjadi dilapangan, dimana banyak seklai terjadi demonstrasi menolak konsep tersebut. Hal ini menunjukan bahwa ada sesuatuyang mengganjanl dihati masyarakat mengenai rencana pemerintah akan merealisasikan kawasan ekonomi khusus di sultra.
2.             Persiapan apa saja yang sudah dlakukan pemerintah untuk merealisasikan program ini?
Persiapan yang dimaksud adalah pemerintah apakah telah mengadakan estimasi secara lebih mendalam menegenai efek yang akan ditimbulkan sebelum dan sesudah KEK dilaksanakan disultra. Memang setiap perusahaan harus mempunyai AMDAL akan tetapi diperlukan tim Independen yang bisa merumuskan mengenai kondisi wilayah yang akan terkena dampaknya karena selama ini kegiatan amdal “maaf” terkesan hanya merupakan legitimasi proses penambangan di sultra.
3.            Sudahkah pemerintah menghitung kerugian yang ditimbulkan oleh KEK ini bukan hanya menghitung keuntungannya???
Yang penulis maksudkan disini adalah apakah pemerintah telah menginvetarisir semua yang berpotensi hilang ketika kebijakan ini jadi diberlakukan dan menghitung semuanya dalam nilai uang sehingga kerugian yang akan ditanggung dapat di ketahui.
4.            Bisakah pemerintah menjamin kesejahteraan masyarakat apabila konsep ini jadinya diterapkan di sultra???

5.            Siapakah yang akan bertanggung jawab bila konsep KEK ini tidak berjalan dengan baik dan menimbulkan kerusakan yang parah pada lingkungan???

Pertanyaan pertanyaan diatas seharusnya sudah ada dalam agenda pemerintah sebelum menggodok rencana tersebut. Karena apabila tidak terencana dengan baik dikhawatirkan program KEK yang semula ditujukan untuk kemakmuran rakyat akan menjadi bumerang bukan hanya bagi pemerintah daerah sepenuhnya akan tetapi yang paling mendapatkan dampaknya adalah masyarakat. Seharusnya pemerintah daerah banyak belajar dari apa yang terjadi di daerah-daerah lain yang telah terlebih dahulu melakukan intensifikasi pertambangan. Papua misalnya dimana adanya  PT. Freeport tidak menjamin kemakmuran masyarakat papua justru lebih menjadi pemicu konflik horizontal antara masyarakat dengan perusahaan. Keuntungan dari perusahaan tersebut yang hanya sekitar 8 triliyun rupiah/ tahun hanya dinikmati oleh sedikit kalangan saja tidak heran kalau Papua meminta merdeka. Contoh lain di Bangka Belitung yang merupakan pulau Timah pertanyaan yang sama siapa yang menikmati Timah di sana??? hanya sebagian kalangan yang menikmatinya dan masyarakat tidak mendapatkan apa-apa dari hasil buminya tersebut, apalagi saat ini menurut penelitian bahwa timah di bangka belitung tinggal kurang dari 7 tahun lagi, sekarang teman-teman mahasiswa dari pulau  tersebut sedang sibuk melakukan upaya-upaya pemanfaatan lahan yang tidak digunakan lagi untuk pertambangan timah tentunya ini menimbulkan masalah baru. Seharusnya hal itu bisa menjadi pertimbangan pemerintah. Penulis meyakini hal ini sebenarnya sudah disadari oleh pemerintah bahkan orang awam pun menyadari bahwa pertambangan itu dapat merusak lingkungan akan tetapi mengapa pemerintah tetap ngotot untuk menerapkan kebjakan itu di sultra??? jawabannya mungkin sudah ada dibenak kita masing-masing. Tetapi menurut saya pemerintah provinsi cuman sedikit kurang kreatif saja dalam membaca peluang dan lebih memilih proses instant dalam meningkatkan perekonomian daerah.The Curse of the Plenty
Dari hasil pemaparan bapak gubernur mengenai potensi barang tambang di sultra yang nilanya woow..!!! fantastais yang nilainya mencapai puluhan ribu triliyun, akan tetapi kita perlu konsekuensi pembangunan pasti akan memberikan dampak sosial. Seharusnya metode yang diambil adalah mengedepankan melihat mudharatnya daripada mengambil manfaatnya terlebih dahulu. inilah konsep yang harus dicermati,, apalagi hal ini menyangkut pengambilan sumberdaya alam yang sifatnya tidak sustain maka harus benar-benar mendapatkan pengkajian yang mendalam. Bukannya bersikap skeptis atau anti pati dengan program pemerintah. Kita sama sama  meyakini bahwa tujuannya pemerintah daerah pastinya untuk kemajuan masyarakat, akan tetapi sekali lagi yang perlu ditekankan bahwa niat saja tidak cukup, akan tetapi banyak pertimbangan-pertimbangan lain yang perlu diperhatikan sebagaimana yang telah sebutkan diatas tadi.
Gubernur Sultra sudah mendapatkan dukungan dari presiden RI dan anggota DPD RI terkait rencana Sultra dijadikannya kawasan ekonomi khusus Pertambangan nasional usai memaparkan kondisi kandungan sumber daya alam Sultra.
"Nur Alam dalam penjelasan seusai bertemu presiden, Jumat (21/1), mengatakan bahwa Sultra siap untuk dijadikan kawasan ekonomi khusus karena memiliki cadangan sumber daya alam yang melimpah khususnya jenis tambang emas, nikel dan aspal," ujar Hartono.Katanya, tim menghitung dari hasil emas dengan cadangan tersedia 1.125 juta ton akan didapatkan uang Rp337 ribu triliun, dari hasil nikel cadangan tersedia 90 miliar ton didapatkan uang Rp48.000 triliun. Serta cadangan aspal tersedia sampai 200 tahun ke depan dengan jumlah cadangan 3,8 miliar ton.
Mungkin  istilah The Curse of resources atau the curse of plenty masih terasa asing bagi sebagian pembaca. Disini penulis akan sedikit memberikan gambaran singkat mengenai istilah ini serta kaitannya dengan pembangunan berkelanjutan. The curse plenty dalam istilah indonesianya adalah kutukan sumberdaya atau kutukan kekayaan. Sebenarnya istilah ini merupakan istilah yang cukup popoler terutama bagi para ekonom dimana hal ini menjelaskan bahwa di sebuah negara yang kaya akan sumberdaya alam akan tetapi kekayaan itu tidak membuat negara tersebut maju contohnya di nigeria dan dibeberapa negara afrika lainnya dimana emas hitam (minyak) yang melimpah di negara tersebut tidak mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap pendapatan nasional negara tersebut sehingga dengan banyaknya sumberdaya migas tersebut tidak menyebabkan masyarakatnya makmur. hal ini telah banyak diteliti oleh para ahli bahwa yang menyebabkan keadaan tersebut terjadi adalah akibat sistem kelembagaan suatu negara dalam mengelola sumberdaya tersebut sangat buruk, banyaknya korupsi, penyelewengan anggaran dsb. Hal inilah yang menyebabkan terjadinya the curse of plenty di negara tersebut terjadi. Mengapa konsep ini penulis coba selipkan dalam tulisan ini tidak lain dan tindakan saya hanya ingin mengingatkan bahwa kita jangan pernah beranggapan bahwa banyaknya sektor tambang akan sejalan dengan kemakmuran suatu daerah akan tetapi banyak hal yang harus menjadi pertimbangannya terutama dalam hal pengelolaan sumberdaya tersebut agar hasilnya bisa dirasakan oleh masyarakat. Contoh yang tidak terbantahkan bisa dilihat dari kondisi pertambangan di papua dan Bangka Belitung, dimana pada kedua daerah ini sumberdaya tambang yang melimpah justru telah menyebabkan beberapa masaalah khususnya masaalah rusaknya lingkungan dan masalah sosial kemasyarakatan yang dapat memicu terjadinya konflik horizontal. Coba kita perhatikan dari beberapa pengalaman perusahan tambang yang masuk di sultra selama ini misalnya di bombana dan konawe utara penulis menilai justru hanya kerusakan alam yang didapatkan. Penulis coba memberikan gambaran mengapa Konsep mengenai kawasan ekonomi khusus harus dikaji lebih mendalam lagi. penulis menilai bahwa kita tidak siap menghadapi penerapan Kawasan Ekonomi Khusus pertambagan. Banyak faktor yang menyebabkan itu misalnya kita tidak mempunyai tenaga ahli dalam bidang pertambagan, kandungan sumberdaya yang jumlahnya tidak jelas kapan habisnya, bertentangan dengan kebiasaan masyarakat kita yang umumnya merupakan petani dan nelayan, belum ada daerah yang makmur dikarenakan pertambagan. Setelah waktu kontrak pertambagan berakhir kita tidak mempunyai teknologi untuk merestorasi bekas daerah pertambgan tersebut seperti yang terjadi di bangka belitung atau daerah lain yang sudah terlebih dahulu mengeksploitasi sumberdaya pertambagannya.

Krisis pangan
Mengapa penulis memasukan ancaman krisis pangan didunia dalam pembahasan mengenai intensifikasi pertambangan. Tentunya ada berbagai alasan yang penulis akan coba jabarkan secara singkat. Menurut FAO (Foof Agricultural Organization) baHwa ancaman krisis pangan telah jelas terliahat dimana  Food and Agriculture Organization (FAO) memperkirakan jumlah penduduk yang kelaparan akibat kenaikan harga pangan akan bertambah 50 juta orang dari angka tahun 2007. Kenaikan harga pangan itu dipicu oleh berbagai masalah. "Negara-negara miskin merasakan dampak yang serius dari melonjaknya harga pangan dan energi," ujar Dirjen FAO Jacques Diouf seperti dikutip dari situs FAO, Senin (7/7/2008). Diouf menyatakan, krisis pangan saat ini merupakan kombinasi dari berbagai faktor seperti meningkatnya permintaan produk pertanian sehubungan dengan bertambahnya jumlah penduduk dan perkembangan ekonomi negara-negara berkembang. Juga disebabkan oleh cepatnya ekspansi biofuel, kurangnya suplai produksi pangan akibat masalah iklim terutama kekeringan dan banjir. Dan pada saat yang sama, stok sereal hanya 409 juta ton, yang merupakan level terendah dalam 30 tahun.

Krisis pangan ini seharusnya menjadi tantangan sekaligus peluang bagi pemerintah daerah untuk menggenjot usaha-usaha di sektor-sektor rill khususnya pertanian dan perikanan. Karena ditengah-tengah permasalahan ekonomi yang sedang meililit bangsa ini sudah seharusnya kita membangun ekonomi kerakyatan dengan memanfaatkan potensi yang ada dalam suatu wilayah secara lebih serius basisnya adalah pembangunan yang berkelanjutan dalam segala bidang.

Solusi
Tentunya untuk menyeimbangkan tulisan ini tentunya saya memiliki konsep yang mudahmudahan masuk akanl atau minimal menjadi pertimbangan bagi pemerintah dalam mengambil keputusan ini.
1.            Pertama-tama konsep yang seharusnya menjadi acuan dalam pembangunan adalah yang sifatnya berkelanjutan. Mungkin hal ini prosesnya akan lebih lambat ketimbang kegiatan pertambangan akan tetapi melihat kondisi masyarakat kita sebenarnya sangat mendukung apabila konsep ini diterapkan dan saya yakin akan banyak mendapatkan aspirasi dari masyarakat Sultra. Contohnya adalah pengoptimalan kegiatan-kegiatan pertanian dan perikanan. Rumput laut misalnya. Komoditi ini merupakan salah satu komoditas ungguluan indonesia dimana ekspor rumput laut indonesia jenis Euchema cottoni merupakan yang terbesar di dunia bersama dengan Filipina dengan menambah sekitar 50 ha tambak untuk budidaya rumput laut kan menghasilkan sekitar 600 ton rumput laut pertahun atau senilai 10 M $ maerika tentunya hal ini merupakan peluang yang sangat besar. Contoh lagi kalau senadainya pemerintah daripada melobi pemerintah untuk menjadi KEK pertambagan lebih baik pemerintah melobi KEK untuk pertanian khususnya cokelat bahkan kalau perlu melobi pemerintah untuk mendirikan PTPN di Sultra. Hal ini juga bisa menyerap tenaga kerja yang sangat banyak baik itu dari masyarakat terpelajar ataupun dari masyarakat biasa.
2.             Pemerintah harus menghitung seluruh biaya operasional bilajadi terjadi intensifikasi pertambagan disultra bukan hanya menghitung keuntungannya tetapi mengihtung seluruh kerugiannya. Mengapa harus demikian agar menjadi eprtimbangan bagi pemerintah kalau memang kenutngannya sama dengan kerugian maka sebaiknya intensifikasi pertambagan harus dicegah (saya yakin kerugiannya lebih besar)
3.             Kalau memang pemerintah daerah tetap bersikukuh untuk mnjalankan konsep KEK ini di Sultra (sebaiknya tidak) diperlukan persiapan adanya persiapan-persiapan misalnya kita menyekolahkan putra daerha sesuai dengan kebutuhan pemerintah daerha. Baru-baru ini pemerintah meluncurkan beasiswa sebesar 1 M kepada putra daerah yang akan melanjutkan sekolah di Universitas Negeri Semarang ini merupakan hal yang baik akan tetapi diperlukan pengawasan yang ketat agar pelaksanaannya tidak sembarangan dan hanya golongan tertentu yang mendapatkan beasiswa tersebut. Selain itu sebaiknya pemerinta menentukan programstudi apa yang seharusnya ditempuh oleh penerima beasiswa tersebut kaitannya dengan mendukung program pemerintah.


*Alumni Prodi MSP FPIK Unhalu
*Mahasiswa Pascasarjana PS SDP IPB Bogor
* Anggota Forum Wacana Sultra IPB Bogor

Mohon kritik dan sarannya ke robinbahari@gmail.com
agi seb � n k �C �/A

Tidak ada komentar:

Posting Komentar