I.
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Sungai
merupakan ekosistem perairan mengalir yang memiliki banyak manfaat untuk
kehidupan makhluk hidup. Manusia banyak memanfaatkan perairan sungai termasuk
areal sekitarnya antara lain sebagai sumber air untuk kebutuhan sehari-hari,
aktivitas perikanan tangkap, budidaya, rekreasi, tempat penggembalan ternak,
pembangkit listrik, bahkan untuk industri.
Berbagai
introduksi aktivitas manusia dari hulu hingga ke hilir, akan dapat menyebabkan
terjadinya perubahan ekosistem ke arah negatif yang mengganggu keseimbangan
ekosistem di dalamnya bahkan dapat menyebabkan areal perairan sungai tersebut
menjadi rusak. Hal ini tentu akan menyebabkan perairan tersebut tidak berfungsi
lagi sesuai peruntukannya. Oleh karena itu, dibutuhkan adanya upaya restorasi
perairan sungai dan alirannya agar dapat mempertahankan kelestarian ekosistem
sehingga sungai dapat kembali bermanfaat bagi makhluk hidup sebagimana
mestinya.
1.2 Tujuan
Tujuan
dibuatnya makalah ini adalah untuk mendeskripsikan hal-hal yang berhubungan
dengan sungai dan aliran sungai berkaitan dengan upaya restorasinya
II.
SUNGAI DAN ALIRANNYA
2.1 Filosofi Dasar dari Keteraturan Sistem
Sungai
Sungai adalah suatu sistem yang
komplek namun sungai mempunyai karakteristik yang teratur. Karakteristik
sungai ini secara sektoral sudah banyak diungkap oleh para ahli morfologi,
hidraulik, dan ekologi sungai. Namun konsep integralitas (meliputi ekologi dan
hidraulik) belum banyak dikembangkan. Pengetahuan tentang karakteristik
integral suatu sungai yang dikelola sangat penting. Setiap pengelolaan
harus melihat, menyesuaikan, dan mengharmonisasikan dengan karakteristik
keteraturan sungai yang bersangkutan. Dengan cara
demikian dampak negatif yang timbul akibat kesalahan
dalam pengelolaan dapat diminimalisir.
Pada era permulaan pembangunan dan
pengembangan sungai, para insinyur hidro sama sekali tidak memasukkan
karakteristik keteraturan sungai secara hidraulik dan ekologi sebagai bagian
dari masukan untuk pengambilan keputusan.
Sehingga hail pembangunan sungai justru banyak yang bertentangan atau
melawan karakteristik keteraturan sungai
tersebut. Sebagai suatu contoh
konkrit adalah pelurusan sungai di daerah midstream (bagian tengah) dan downstream (bagian hilir) yang banyak
dilakukan di Eropa, Jepang, dan Amerika. Pelurusan sungai ini sangat bertolak belakang
dengan karaktersitik bentuk meander sungai didaerah tengah dan hilir. Akibatnya adalah bahwa disamping kerusakan
ekologi sungai, harus disediakan dana operasi dan pemeliharaannya secara ekstra
dan terus menerus, karena sungai yang diluruskan tersebut mempunyai
kecenderungan kuat untuk kembali bermeander sehingga mengerosi tebing kanan
kiri tanggul pelurusan. Demikian juga sebaliknya didaerah hulu karakteristik sungai
relatif lurus, jika dibelokkan akan berakibat fatal, karena sungai akan tetap
cenderung mencapai alur lurus. Jadi untuk melakukan suatu rekayasa sungai
diperlukan pengetahuan dan filosofi karakteristik sungai secara lengkap. Jika tidak maka upaya rekayasa apapun akan
justru merusak sungai secara serius.
Seperti kita ketahui sungai dan
aliran sungai mempunyai banyak kesamaan dalam bidang ekonomi, dan nilai
lingkungan seperti halnya danau. Terkait dengan penggunaan manusia terhadap
sungai telah
mulai lebih awal di
sungai karena pentingnya
sungai sebagai jalur transportasi. Sayangnya selain
memiliki fungsi sebagai sarana yang sangat nyaman dan murah, tetapi juga dapat
merupakan sarana aliran untuk pembuangan limbah industri dan rumah tangga. Sungai mampu membersihkan melalui proses alami sebelum air
mencapai hilir. Akibat perluasaan
permukaan dalam volume dan jarak yang lebih dekat menyebabkan limbah banyak
mengandung senyawa toksik yang tinggi, rusaknya ekologi dan kemungkinan untuk
pembersihannya terbatas. Pada saat yang sama, pertanian, pertambangan, dan kegiatan pemanenan
kayu dipercepat,
mengakibatkan perubahan luas
DAS, dataran banjir, dan tepi pantai yang
pada gilirannya mengubah air dan sedimen di
sungai dan alirannya, sehingga memberikan
dampak buruk terhadap komunitas tumbuhan
dan hewan. Arus dan kapasitas pengenceraanya berkurang
atau dirubah dengan adanya bendungan, irigasi, aliran air di interbasin. Dampak
kumulatif dari semua
perubahan ini kadang tidak berpengaruh
langsung karena sifat tambahan dari perubahan yang terjadi.
Perubahan yang menekankan sistem air
mengalir dapat memberikan kerugian diantaranya manusia sebagai
pengguna dan jasa lingkungan. Lebih ditekankan pada (1) Kuantitas air dan
alirannya (2) modifikasi dari saluran dan zona
tepi pantai (3) erosi
dan sedimentasi yang berlebihan, (4) penurunan kualitas
substrat, (5) penurunan
kualitas air, (6)
penurunan spesies asli, dan (7) introduksi
spesies asing dan sumber masalah bisa
di daerah aliran sungai, di sepanjang zona tepi
pantai atau dataran banjir,
atau di saluran dan kolam.
Menekankan pada
komponen biotik ekosistem sungai dan aliran, timbul
dari (1) perubahan dalam jumlah, mutu, dan ketersediaan musiman makanan bagi organisme, (2) penurunan kualitas air, termasuk perubahan suhu dan kekeruhan yang berlebihan dan sedimen, (3) modifikasi habitat, termasuk substrat; (4) kuantitas air, dan (5) interaksi biotik (Gambar 4) .fokus masalah bisa di daerah aliran sungai, di sepanjang zona tepi pantai atau dataran banjir, atau di saluran dan kolam.
dari (1) perubahan dalam jumlah, mutu, dan ketersediaan musiman makanan bagi organisme, (2) penurunan kualitas air, termasuk perubahan suhu dan kekeruhan yang berlebihan dan sedimen, (3) modifikasi habitat, termasuk substrat; (4) kuantitas air, dan (5) interaksi biotik (Gambar 4) .fokus masalah bisa di daerah aliran sungai, di sepanjang zona tepi pantai atau dataran banjir, atau di saluran dan kolam.
Berikut ini adalah deskripsi tekanan akibat adanya
aktivitas manusia yang memberikan tekanan pada sungai dan alirannya.
2.1.1 Polusi sumber
terpusat (point sources of pollution)
Aktivitas manusia merupakan faktor yang memberikan dampak utama pada
sungai. Buangan dari
pusat populasi (penduduk) dan industri merupakan polusi dengan sumber terpusat
(end-of pipe), sedangkan penggunaan DAS oleh
manusia (agrikultur dan silikultur) dapat menimbulkan polusi tidak terpusat (nonpoint
pollution). Pada awalnya, limbah
kota dan industri dengan mudah dialirkan ke anak ungai yang paling dekat.
Kemudian, seiring dengan pertumbuhan populasi dan munculnya waterborne
disease, limbah
dikumpulkan di saluran dan dialihkan jauh dari area pemanfaatan air.
Sistem sungai memang sangat berkaitan dengan banyak polusi point and non-point source. Memonitoring
semua sumber parameter di semua bagian sungai tentu idaklah mungkin. Selain
sulit dan mahal untuk memonitor, terdapat juga analisis error (Jain, Bhatia,
& Seth, 1998). Pendekatan merestorasi
kualitas air adalah untuk mengembangkan kriteria untuk bermacam-macam kegunaan
air dan kemudian desain instalasi pengolahan air limbah yang akan mencapai
buangan standar yang akan melindungi atau merestorasi manfaat sungai dan aliran
sungai termasuk ikan dan kehidupan liarnya dan kegunaan untuk pemenuhan
kebutuhan air masyarakat. Bagaimanapun juga, buangan toksikan point atau non point sources menyisakan masalah dan mewariskan polutan
termasuk toksikan yang menyisa di sedimen dan dapat memasuki rantai
makanan.
2.1.2 Polusi dengan
sumber menyebar (nonpoint sources of pollution)
Sistem river-riparian adalah kondisi
bagaimana saluran air ditutupi oleh tipe vegetasi dan bagaimana lahan darat
digunakan (grazed, cropped, atau
urbanized). Lebih dari 30
tahun (1960-1980-an), kategori
penggunaan lahan utama berubah sangat kecil. McElroy et al. (1975) dalam Committee on Restoration of
Aquatic Ecosystems (1992) menemukan
bahwa 97% lahan di US adalah pedesaan dan merupakan sumber yang potensial
sebagai nonpoint
pollution, termasuk sedimen, limbah ternak, nutrien, dan pestisida; 64% digunakan
agrikultur atau silvikultur dan hanya 0.6 % dimanfaatkan untuk pertambangan dan bangunan. Nonpoint
pollutant disefinisikan sebagai kontaminan permukaan maupun di bawah permukaan
tanah dan air yang tersebar masuk ke alam dan tidak dapat dilacak asalnya dari
satu lokasi (Eisakhani et al., 2009).
Nutrien dan toksikan mungkin terlarut dalam air atau partikel mungkin
tersedimentasi di sungai dimana material-material ini dapat sampai ke hilir,
terakumulasi dan mengendap di area tertentu, dimakan oleh organisme, atau
terlepas kembali ke kolom air. Sedimen yang kaya bahan organik akan melepaskan
amonia dan sulfida dan menciptakan kondisi DO yang rendah karena adanya proses
dekomposisi.
Asosiasi antara kehutanan dengan pertanian tidak hanya meningkatkan
masukan polusi ke sungai tetapi juga mengubah struktur fisik dan fungsi ekosistem river-riparian, sebagaimana
didiskusikan pada di bawah ini mengenai overgrazing dan saluran dan kanalisasi.
a. Overgrazing
Pemanfaatan rumput secara berlebih (overgrazing)
oleh ternak di area riparian adalah masalah utama. Lahan di area riparian yang
berada dalam kondisi baik berubah menjadi kondisi yang lebih buruk karena
ternak (dan hewan liar) menghabiskan waktu yang lama dan memakan (graze) lebih banyak di area riparian
yang terairi dengan baik.
Overgrazing oleh ternak dapat
mengeliminir vegetasi di tepi sungai secara langsung, atau tidak langsung
sebagai hasil dari longsornya atau terinjak-injaknya tepi sungai yang dapat
memicu pelebaran saluran, agradasi saluran, dan penurunan kualitas air di hilir
karena turbiditas, sedimentasi, dan limbah kotoran ternak. Air dapat menjadi
terlalu keruh, hangat, dan dangkal dan substrat juga menjadi terlalu tertahan
oleh sedimen halus yang mendukung ikan asli dan makanan dasar mereka.
b. Drainase dan
kanalisasi
Dampak kanalisasi pada habitat ikan dan invertebrata mencakup
penghilangan atau hilangnya vegetasi riparian, hilangnya penutupan sungai,
penurunan sinusitas sungai, berubahnya komposisi substrat, meningkatnya
velositas sungai, meningkatnya erosi tepi sungai, meningkatnya sedimen
tersuspensi, dan meningkatnya temperatur air.
c. Sedimen
tersuspensi
dan Endapan sedimen
47% material sedimen
berasal
dari nonpoint sources
of pollution. Ukuran partikel berkisar dari batu-batuan, kerikil,
dan pasir, sampai lumpur yang sangat halus. Partikel besar biasanya menempati
dasar dengan cepat, namun lumpur yang halus tetap tersuspensi untuk waktu yang
lama, menyebabkan kekeruhan. Karena kekeruhan dapat menyebabkan cahaya
terpencar dan terserap daripada terpancar dalam satu garis lurus, penetrasi
cahaya berkurang dan menurunkan bahkan mengeliminir pertumbuhan tanaman. Ketika
tanaman di tepi sungai tereliminasi, kekeruhan menjadi semakin buruk.
Pada air yang jernih, ditemukan banyak makhluk hidup yang sukses
bereproduksi. Selain itu, berhubungan
dengan
penglihatan untuk makan, banyak spesies menunjukkan reproduksi kompleks dan
kebiasaan yang bergantung pada penglihatan. Reduksi jarak penglihatan
mengganggu penglihatan dan menyebabkan reduksi reproduksi.
Meskipun beberapa organisme dewasa dapat bertahan dengan kondisi sedimen
di air untuk beberapa hari atau minggu, populasi akan secepatnya mati karena
kelaparan, kegagalan reproduksi, atau stress yang terakumulasi. Demikian, efek jangka
panjang dari sedimen tersuspensi kronis akan merubah komposisi spesies dalam
badan air melalui perubahan habitat dan
suplai makanan.
Keragaman topografi di dasar sungai atau aliran sungai adalah penting
dalam menjaga keragaman tanaman dan hewan. Di area yang dangkal dengan laju air
yang cepat, tepian berkerikil dan beriak menyediakan habitat dan spawning area
untuk berbagai organisme. Dimana terdapat arus yang lebih lambat, vegetasi
tenggelam dan mencuat tumbuh dan menyediakan makanan dan menjadi tempat
berlindung bagi berbagai hewan akuatik.
Ketika endapan sedimen melebihi transpor sedimen, endapan sedimen halus
dapat menutupi dasar berkerikil yang mana beberapa organisme butuhkan untuk
makanan dan reproduksi dan mungkin mengisi bagian yang lebih dalam dan menutupi
batuan dimana ikan hidup dan makan. Sedimen yang halus mempengaruhi
invertebrata, telur ikan dan larva di zona hyporheic. Zona hyporheic merupakan
tempat perlindungan dari predator dan arus yang cepat dan sebagai area mencari
makan untuk instar awal.
Jika sudah masuk ke air, sedimen dapat menjadi sumber atau pembenaman
nutrien, bergantung kondisi pH, suhu, potensi redoks, dan kandungan nutrien
yang tersedia di air. Sebagai contoh, fosfor di air dan fosfor yang terbawa ke
air di sedimen akan mencapai keseimbangan. Jika tanaman mengambil fosfor di
air, maka sedimen bisa menyuplai lebih. Jika terdapat kelebihan fosfor
terlarut, maka sedimen akan mengambilnya. Pada kekeruhan yang sangat ekstrim,
keberadaan nutrien-nutrien ini akan menjadi tidak jelas karena cahaya tidak
mencukupi untuk pertumbuhan tanaman.
Selain itu, sejumlah senyawa toksik diserap oleh partikel tanah yag
bergerak ke sungai. Diantaranya adalah logam seperti tembaga, seng, dan timbal,
yang diketahui terakumulasi di sedimen. Butts (1974) dalam Committee
on Restoration of Aquatic Ecosystems (1992) menemukan bahwa oksigen dapat meningkat secara
dramatis ketika sedimen mengandung material organik dan bakteri yang
tersuspensi kembali oleh gelombang dan arus.
d. Dam dan Perubahan pola
aliran
Dam
telah
ditempatkan pada setiap tipe dan ukuran perairan mengalir, dari hulu sungai
sampai ke sungai Mississippi.
Croome et al. (1976) dalam Committee on Restoration of
Aquatic Ecosystems (1992) berpendapat bahwa kira-kira 66% aliran sungai
total dunia akan dikontrol oleh dam.
Selain dari efek dari perubahan air mengalir menjadi air yang diam,
mengubah pola aliran di hilir baik pada air maupun sedimen dan memblok migrasi
organisme akuatik, dam juga mengubah kualitas air dan menginisiasi perubahan
jangka panjang pada kanal hilir, zona riparian, dan rawa banjiran.
Contoh yang sangat bagus adalah hilangnya perikanan Mediteranian akibat
pembangunan Aswan Dam di Mesir. Nursey ground untuk spesies ikan Mediteranian
terletak di belakang sandbar di mulut sungai Nil yang paralel dengan
pesisir. Hilangnya material partikulat
karena arus telah digantikan oleh penambahan material sedimen baru dari Sungai
Nil. Ketika pembaruan berhenti, sandbar tergerus dan secara serius mempengaruhi
nursery ground.
Pola aliran tahunan telah berubah tidak hanya oleh dam tapi juga karena
pengalihan, penggunaan untuk irigasi, evaporative cooling, dan and akselerasi runoff pada DAS.Di area perkotaan dan pinggiran kota, air
hujan pada permukaan yang kedap air akan langsung masuk ke perairan melalui
saluran air. Hal yang sama terjadi pada area agrikultur, selokan dan kanal
sungai. Hasil akhir dari penggunaan lahan tersebut adalah puncak banjir yang
lebih tinggi dan saat surut menjadi lebih lama dari pada masa lalu karena
kurangnya retensi air di perairan tersebut.
Perubahan pola aliran sering memicu perubahan yang tidak diinginkan
dalam endapan dan erosi. Sedimen dapat mengakumulasikanal produktif lebih dulu
dan menahan air di hilir atau proses
erosi di hulu dimulai. Selama musim kemarau,mungkin terlalu sedikit aliran di
sungai termodimifikasi ini untuk mendukung makhluk hidup akuatik dan kegunaan
hilir lainnya.
e. Penangkapan dan Lalu lintas perahu
Populasi ikan sport tampak lebih terancam oleh hilangnya habitat dan
polusi dibandingkan dengan panen lebih. Namun bagaimanapun juga tangkap lebih
menjadi perhatian dan termasuk reintroduksi spesies sebagai salah satu teknik
nonstruktural dari restorasi sunga dan alirannya. Meningkatnya populasi manusia
berdampak pada reduksi habitat dan pada akhirnya menurunkan hasil tangkapan
pancing ikan. Pembatasan penggunaan
sumberdaya tersebut merupakan salah satu cara untuk melindunginya, namun
pemerintah enggan untuk menurunkan kesempatan rekreasi, dan walaupun pemerintah
pusat dan lokal memantau populasi dan mengatur penangkapan spesies yang
penting, tidak ada cara untuk menghitung tangkapan ilegal.
Tekanan dapat terjadi oleh adanya proyek navigasi dan dan lalu lintas
perahu (Rasmussen, 1983 dalam Committee on Restoration of
Aquatic Ecosystems, 1992). Perpindahan
air, pencucian baling-baling, dan baling-baling perahu mensuspensikan kembali
sedimen dasar, meningkatkan erosi tepi sungai, dan dapat menyesatkan dan
melukai spesies akuatik yang sensitif. Organisme akuatik dapat juga terbentur
baling-baling atau badan perahu. Terakhir limbah buangan dan tumpahan minyak
dari perahu ataupun fasilitas lainnya dapat mengintroduksi polusi dan eksotik
spesies.
f. Asam
Efek dari rendahnya pH pada makhluk hidup akuatik sangat sulit dipisahkan
dari efek polutan lainnya, perubahan habitat fisik, dan perubahan pola stok
yang mungkin terjadi secara simultan. Selain itu, sulit untuk menentukan
kontribusi dari berbagai macam anion asam. Sebagai contoh, pada beberapa
sungai, perubahan dapat terjadi pada
sumber keasaman dan proporsi relatif dari ion organik dan inorganik (sungai
yang asam secara alami karena asam organik menjadi lebih asam karena
pengendapan sulfat atmosfer.
III. RESTORASI
SUNGAI
3.1 Identifikasi Karakteristik Morfologi Sungai
Rawan
Gany (2010)
menjelaskan mengenai peta kerusakan sungai, dapat
disimpulkan bahwa di samping kurangnya upaya pemeliharaan dan pelestarian, juga
diakibatkan karena kurangnya pemahaman terhadap lokasi dan kharakteristik
morfologi sungai yang semustinya bisa dicegah kerusakannya kalau diketahui peta
lokasi yang rawan di tiap-tiap bagian sungai. Dari penangan masalah
persungaian, baik yang bersifat protektif, repressif, maupun rehabilitatif,
pada umumnya, yang menjadi pertimbangan utama yang selalu menjadi prioritas
utama, adalah pengenalan kharakteristik fisik sungai melalui identifikasi dan
pemetaan lokasi morfologi, khususnya yang rawan dan memerlukan kehati-hatian
dan penangan khusus. Dengan demikian lembaga yang berwenang menangani
pengelolaan dapat mengendalikan sesuai dengan perlakuan yang dibutuhkan lokasi
yang teridentifikasi.
Pengenalan Lokasi dan Kharakteristik Morfologi Sungai: Secara teoritis,
pentingnya pengenalan morfologi sungai ini, sudah diketahui oleh kebanyakan
ahli teknik persungaian, namun mengingat bahwa hal ini perlu pengkajian yang
rinci untuk mengidentifikasi dan memetakannya, memerlukan upaya yang sangat
intensif dan mahal, (sementara pengelolaan jangka pendek tidak dianggap sebagai
urgensi yang mendesak), maka hal ini selalu tertinggal ketimbang upaya
pembangunan infrastruktur fisik terkait. Sebagaimana dalam pengembangan dan
pengelolaan infrastruktur lainnya, dalam bidang persungaian, bagaimanapun
piawainya seseorang dalam pelaksanaan pengembangan dan pengelolaan, tanpa
mengetahui dan mengenal kharakter yang akan ditangani, tentu akan mengalami
kesulitan. Hal hal yang mutlak untuk dimiliki lembaga pengelola sungai antara
lain adalah: Kharakeristik pembentukan jalur-jalur sungai yang sangat
tergantung pada kondisi geologi dan kondisi geomorfologi di mana sungai
mengalir, di mana kategori morfologi pengaliran sungai pada umumnya
dikelompokkan atas: (1) Dataran rendah alluvial; dan (2) Dataran tinggi.
Dataran Rendah Alluvial: Kategori di dataran rendah
alluvial adalah: Anastomatik di mana alirannya airnya berkelok-kelok dengan
danau-danau berbentuk bulan sabit, alur kelokan sungai saling tertutup,
kemiringan dasar sungainya yang relatif kecil. Bisa juga berbentuk Braided,
karena penurunan kemiringan sangat rendah sehingga menyebabkan akumulasi
sedimentasi, morfologi badan sungai berubah ubah, sehingga tidak mampu
mengalirkan debiet;
Kharakteristik lain yang sangat penting namun sering
dilupakan adalah bahwa di dataran rendah alluvial adalah, sering terjadi bentuk
dichotomic, khususnya pada tanah alluvial berbutir kasar dengan bentuk kipas,
umumnya badan sungai hilang karena resapan air yang besar. Biasa juga terjadi
bentuk reticular khususnya pada pada kawasan pantai yang terpengaruh pasang
surut, kemiringan kecil, dan melebar dengan lahan rawa merata;
Dataran Tinggi: Katagori bentuk aliran di dataran
tinggi umumnya terdiri atas: (1) Kendali struktur; dan (2) Kendali material.
Dimana Kendali struktur terdiri umumnya dari bentuk annular, yaitu struktur
yang berbentuk kubah akibat daya sedimentasi vertikal membentuk tipe radial.
Sering juga terjadi bentuk rectangular, biasanya pada daerah patahan, dengan
bentuk aliran mengikuti patahan batuan. Juga bisa terjadi bentuk trellis, yaitu
alur sungai berbentuk lurus paralel akibat pembentukan sedimentasi di daerah
patahan di kawasan tersebut. Sementara itu, Kendali material, bisa berbentuk
radial, yang umumnya terbentuk tanpa terpengaruh struktur geologi di daerah
pegunungan berapi. Terkadang juga berbentuk dendritic, yakni bentuk percabangan
yang tidak teratur seperti bentuk cabang pohon, umumnya karena bentuk badan
sungai ditentukan oleh kelandaian dasarnya. Dalam hal berbentuk parallel,
umumnya terjadi bentuk sesuai dengan kesetaraan kemiringan dasar sungai, di
mana struktur struktur geologi tidak menjadi penentu bentuk parallel ini.
Faktor yang mempengaruhi morfologi: Faktor lain yang
sangat penting untuk menjadi pertimbangan dalam penetapan langkah struktur
pengelolaan sungai adalah faktor yang mempengaruhi terbentuknya morfologi
sungai. Karena dengan mengetahui hal tersebut, langkah-langakah yang bersifat
struktural maupun non struktural dapat ditempuh baik untuk langkah yang
bersifat preventive, repressive maupun yang bersifat rehabilitatif. Setiap
langkah struktural maupun non struktural yang ditempuh tanpa mempertimbangkan
karakteristik pembentukan morfologi, berarti akan menentang daya air yang
cenderung akan berdampak ke arah yang tidak dikehendaki. Faktor yang
mempengaruhi pembentukan dan kharakter morfologi yang juga harus diidentifikasi
dan diketahui antara lain: (1) Volume aliran sungai, lama berlangsungnya volume
aliran tertentu dan distribusi pengaliran air dan kandungan sedimen. Hal ini
haruslah dipantau dan dicatat secara rutin, karena variasi kejadiannya sulit
diketahui melalui model simulasi; (2) Material yang menjadi bahan dasar
terbentuknya tanah yang dilewati sungai, ini juga sangat penting untuk diteliti
agar tidak keliru dalam menetapkan variabel dalam perhitungan fisik untuk
langkah struktural; (3) Kondisi topografi apakah landai, datar, bergelombang,
sangat menentukan besaran parameter; (4) Kondisi cuaca yang berpengaruh; (5)
Kondisi dan jenis vegetasi yg menutupi; dan (6) Tataguna lahan di daerah aliran
sungai. Semua faktor tersebut di atas, harus terus menerus diamati dan dicatat
agar dapat mengenal serta menyesuaikan dengan pendekatan penanganan pengelolaan
yang harus ditempuh.
Model tes Micro untuk
Menyelidiki Kharakteristik Sungai: Berdasarkan pengalaman pengalaman
penerapan pendekatan struktural
penanganan sungai, dengan metode trial-and-error,
hal tersebut sangat mahal dan memerlukan waktu yang sangat lama, maka dalam
proses mengetahui karakteristik sungai yang akan kita manfaatkan dalam
perencanaan pengembangan dan pengelolaan sungai, misalnya untuk perencanaan
jembatan yang melintasi sungai besarsaat
ini diperlukan model test mikro yang pada dasarnya bertujuan untuk: (1) Menguji
fenomena kharakter sungai yang sulit diantisipasi di lapangan; (2)
Mengantisipasi pengaruh perubahan morfologi pada berbagai besaran debiet
banjir; (3) Mengamati simulasi proses perubahan sungai terburuk setelah
jembatan dibangun; dan (4) Simulasi kejadian terburuk dalam skala mikro –
sebagai upaya menghemat biaya penelitian dengan skala lapangan (1:1).
Model
tes dilakukan di laboratorium hidrolika yang sudah terakreditasi, baik di
ruangan tertutup (indoor) maupun laboratorium terbuka (outdoor).
Pelaksanaannya supaya lebih effektif, harus menggunakan peta skala kecil yg
memuat profil memanjang - melintang sungai ditempat akan dibangun jembatan arah
hulu dan hilir sejauh aliran air akan berpengaruh.
3.2 Berbagai Contoh Penangan Fisik Pengelolaan Dan Pengamanan Sungai Yang
Dilakukan Berbasis Kharakter Morfologi Sungai
Berdasarkan idetifikasi, peta kharakterisistik
morfologi dan data-data aliran serta angkutan sedimen serta sifat-sifat
specifik sungai yang peroleh dari aktivitas penelitian tersebut di atas, dapat
dengan mudah ditetapkan langkah-langkah pengelolaan maupun pengendalian serta
penanggulangan daya rusak air yang diperlukan. Misalnya, dengan mengetahui
kharakteristik sungai yang meandering, di mana umumnya aliran sungai akan lebih
besar pada sisi tikungan luar, akan selalu mengakibatkan pengendapan di
tikungan bagian dalam. Hal ini jika dibiarkan berlangsung tanpa upaya
pengendalian, pada gilirannya akan membagi aliran air akibat terkumpulnya
tumpukan sedimen yang memaksa terbentuknya alur sungai baru yang sangat
menyulitkan pengelolaan struktural maupun non struktural. Lihat Gambar 2 dan 3.
Sketsa dan foto karakteristik aliran pada sungai meandering (berliku-liku) dan
pada sungai yang braided (berjalin).
Dari Gambar 2 dan 3. jelas terlihat bagaimana
kharakter aliran sungai yang mengakibatkan penggerusan pada tikungan sungai
yang berbelok belok dan mengakibatkan kumpulan pengendapan pada sungai yang
berjalin (braided). Keduanya memerlukan perhatian khusus bagaimana menangani
upaya pengelolaan sehingga tidak menimbulkan dampak yang tidak diinginkan
akibat kharakteristik sungai yang berbeda-beda tersebut.
Sungai Berliku
|
Sungai Berjalin
|
Gambar 2. Gambaran skhematis
kharakteristik sungai yang berliku-liku (meandering) dan yang berjalin
(braided), yang memerlukan penangan yang berbeda.
|
Pada sungai meandering juga masalah yang sangat
banyak dijumpai adalah kerusakan akibat degradasi. Khusus mengenai sungai yang
terbentuk dari alluvial dengan alur sungai yang tergerus pada sisi-sisinya,
akan membawa akibat terjadinya erosi yang bisa mengakibatkan bencana tanah
longsor. Hal ini disebabkan
karena sisi yang tergerus akan terus menggerus di bawah muka air. Belum lagi
kalau terjadi penagaruh energi lain, misalnya pengaruh angin, hujan, dan
prilaku manusia yang tidak bersahabat dengan lingkungan.
Gambar 3. Gambaran skhematis dan
foto kharakteristik sungai yang berliku-liku (meandering) dan yang berjalin (braided), yang memerlukan penangan yang berbeda. (Sumber:
Pengelolaan Sungai Mississippii)
|
Penanggulangan masalah degradasi, merupakan hal
yang perlu upaya uang memakan waktu panjang, baik dalam bentuk pengamatan
langsung di lapangan maupun mempergunakan model test mikro. Hal lain yang memerlukan perhatian dan pengalaman
khusus adalah, karena karakteristik degradasi dipengaruhi oleh berbagai kondisi
lapangan yang spesifik, sehingga penanganan masalah di satu lokasi, tidak akan
sama dengan lokasi lainnya (sangat bersifat site
specific). Misalnya, penanganan penanganan degradasi di salah satu belokan
sungai Mississippi, Amerika Serikat, memerlukan waktu (mulai tahun 1934, dan
baru berhasil tahun 1956) dan upaya yang cukup lama dengan perlakuan yang
bersifat trial-and-error. Lihat
Gambar 4. berikut untuk ilustrasi penanganannya.
Gambar 4. Pelaksanaan
penanggulangan degradasi di salah satu belokan sungai Mississippi, yang
berlangsung sejak tahun 1934 s/d tahun 1956.
(Sumber: Pengelolaan Sungai Mississippi)
|
Pemanfaatan Eco-Technology: Saat ini setelah
melalui pengalaman penanganan pengelolaan sungai dengan pendekatan struktural
fisik, terdapat kecenderungan untuk mulai meninggalkan pendekatan tersebut
dengan menerapkan teknologi yang berwawasan lingkungan (eco-technologi)
sehingga infrastruktur fisik yang dibangunan untuk stabilisasi bantaran sungai
atau aliran sungai tidak membawa dampak negatif. Ini misalnya, dilakukan pada
penggunaan revetment pada berbagai pengelolaan sungai yang tadinya secara
tradisional menggunakan susunan batu kosong dengan berat rata-rata 200 kg
setiap batu, didapati bahwa penggunaan batu kosong ini lebih mantap dudukannya
dengan penggunaan gradasi batu dengan ukuran maksimum 2500kg per buah. Hal ini
menjadikan bantaran sungai lebih mantap dan lama-lama dapat ditumbuhi pepohonan
yang menunjukkan kembali karakter alamiah bantaran sungainya.
Stabilisasi Bantaran Sungai dengan Krib
Bertingkat: Stabilisasi dan perbaikan bantaran sungai dapat juga ditempuh
dengan metode krib bertingkat. Bentuk ini akan mencegah pengendapan sedimen
akibat pusaran air. Setiap muka krib ditinggikan sekitar 60 cm melebihi krib
sebelumnya. Cara ini akan mengubah kharakter pengendapan sedimen. Pada akhirnya
membentuk bantaran sungai yang stabil (Gambar 5).
Gambar 5. Pelaksanaan stabilisasi
bantaran sungan dengan krib bertingkat di salah satu bagian sungai
Mississippi, yang cukup berhasil membuat bantaran stabil (Sumber:
Pengelolaan Sungai Mississippi)
|
3.3 Pemeliharaan
Dan Pengamanan Sungai
“We must look after rivers like we care our lovers.
Make sure rivers are always beautiful”. “Kita harus memelihara sungai laksana kekasih kita. Upayakanlah agar
sungai senantiasa tampak cantik berseri”. (Mahatir Muhammad: Malaysian Love
our Rivers Campaign 2000 – The Straight Times, Asia, May 2001).
Mengutip ungkapan bijak Perdana menteri Negeri Jiran (Mahatir Muhammad) pada saat Kampanye
kepedulian masyarakat terhadap pengelolaan sungai tahun 2000 tersebut di atas,
nampaknya sangat bijaksana untuk memelihara dan mengamankan sungai sebagai
harta yang tak ternilai bagi kehidupan kita umat manusia. Sangat tepat kiranya
pendekatan penanganan pengelolaan sungai dengan pendekatan yang berwawasan
lingkungan (eco-technologi) sehingga
infrastruktur fisik yang dibangunan untuk stabilisasi bantaran sungai atau
aliran sungai tidak membawa dampak negatif bagi kehidupan manusia.
Revetmen Batu Besar di Sungai Mississippi: beberapa contoh lain dalam
penanggulangan dampak erosi dan degradasi adalah dengan penggunaan batu besar
berupa revetmen lepas tepian sungai yang selalu mengalami gerusan dengan meletakkan tumpukan batu sejajar tepian sungai,
sehingga menahan atau mengurangi terjadinya erosi (Gambar 6 - kiri). Pada sisi
lain dibiarkan celahnya tidak ditutupi untuk memberi ruang gerak ikan yang ada.
Penggunaan tanggul dengan bentuk Chevron biasa juga dipergunakan untuk
perbaikan pengamanan sungai. Ini sekaligus memberi tempat untuk buangan
pengerukan sungai, sekaligus menyempurnakan palung sungai. Penampungan buangan
kerukan sungai lama-lama membentuk pulau kecil (Gambar 6 - kanan).
Tanggul penutup celah arus juga banyak digunakan
dengan maksud untuk membentuk alur “bersahabat dengan lingkungan” (environmentally friendly). Secara
tradisional ditutup dengan batu belah untuk mengarahkan air ke palung sungai.
Bentuk struktur ini akan menciptakan air dalam dan dangkal menarik berbagai
spicies, sehingga penanggulangan struktural fisik yang dilakukan tidak pernah
mengganggu keseimbangan hidup spicies kehidupan sungai.
Gambar 6. Pelaksanaan stabilisasi
bantaran sungai dengan batu besar lurus (kiri); dan Gambar Kanan dengan
batu besar bentuk Chevron. (Sumber:
Pengelolaan Sungai Mississippi)
|
Penggunaan
Kapal Keruk: Salah satu upaya
pengamanan sungai adalah dengan penggunaan kapal keruk, yang banyak digunakan
khususnya pada bagian-bagian sungai yang sering terganggu endapan, adalah
dengan penggunaan kapal keruk, tapi saat ini penggunaan metode ini sudah mulai
tidak populer karena memerlukan biaya tinggi dan juga tidak menjamin kinerjanya
secara berkelanjutan.
Pemeliharaan dan
Pengamanan Sungai yang Konsisten dan Berkelanjutan: Disamping pendekatan
pemeliharaan yang berwawasan lingkungan, hal yang sangat perlu dijaga adalah
keberlanjutan kepedulian berupa pemantauan dan pemeriksaan rutin terhadap
kondisi pemeliharaan dan pengamanan. Ini perlu diketahui secara terus menerus
dan ditangani segala gejala-gejala kerusakan atau pemeliharaan yang tidak
konsisten dari dini. Misalnya, pada bagian bagian sungai yang sering mengalami
fluktuasi aliran di Sungai Mississippi, pemantauan dan pengecekan dan tindak
lanjut yang konsisten terus-menerus dilaksanakan tanpa menunggu gejala-gejala
kerusakan menjadi lebih parah (Gambar 7).
Belokan 1
|
Belokan 2
|
Belokan 3
|
Belokan 5
|
Belokan 6
|
Krib pengaman pada tiap-tiap belokan
sungai terus menerus dipantau
|
Gambar 7. Krib pengaman pada
tiap-tiap belokan sungai, terus menerus dipantau, dan segera
ditindaklanjuti dengan pengamanan bila ada gejala kerusakan. (Sumber: Pengelolaan Sungai Mississippi)
|
Upaya Fisik Pengamanan
Sungai Berkelanjutan: Upaya Fisik pengamanan sungai yang pada umumnya
memerlukan pemantauan, penanganan dan berbaikan secara berkelanjutan adalah;
(1) Penanganan sungai secara preventif dengan penanaman bertangga di daerah
tangkapan sungai (trasering); (2) Pengamanan dasar sungai dengan
bangunan ground sill; (3) Pembangunan tanggul di daerah hilir; (4)
Penanganan represif dengan menanggulangi tanah longsor; (5) Pengerukan sungai
secara periodik; (6) Pemasangan Bangunan pengendali sedimen; dan (8) dengan
pengembangan dan penerapan Teknologi Sabo, untuk penanggulangan sedimen.
3.4. Perspektif Pengelolaan Sumber Daya Air
Berbasis Wilayah SungaiTerpadu Dan Berkelanjutan
Prinsip-prinsip
Kesepakatan Millennium Dunia berkenaan dengan Pengelolaan Sumber Daya air (The
Millennium Guiding Principles): Mengingat bahwa Pengembangan dan
Pengelolaan SDA sudah merupakan kesepakatan dunia, maka segenap upaya yang
berkaitan dengan hal tersebut hendaknya selalu mengacu kepada kesepakatan
dunia, yakni Kesepakatan Dublin, Irlandia 1992, yang diangkat menjadi basis
Agenda 21, Rio de Janeiro, Brazilia, 1992, sebagai kutipan berikut:
(Dublin
Principles – 1992 the basis for the Rio Agenda 21): Principle No.1. Freshwater is a finite and vulnerable
resource, essential to sustain life, development and the environment, i.e. one
resource, to be holistically managed; Principle No.2. Water development and
management should be based on a participatory approach, involving users,
planners, and policy-makers at all levels, i.e. manage water with people - and
close to people; Principle No. 3. Women play a central role in the provision,
management and safeguarding of water, i.e. involve women all the way; and
Principle No. 4. Water has an economic value in all its competing used and
should be recognized as an economic good, i.e. having ensured basic human
needs, allocate water to its highest value, and move towards full cost pricing
rational use, and recover costs (Dublin Statement, 26-31 Jan 1992).
Diantara empat prinsip
kesepakatan dunia tersebut diatas, yang sangat relevan dan berkaitan dengan
pengelolaan SADA berbasis Wilayah Sungai Terpadu adalah prinsip No. 2 (meskipun
yang lainnya tidak terpisahkan), yang menyatakan bahwa: Pengembangan dan
Pengelolaan SDA hendaknya dilaksanakan melalui pendekatan partisipatif,
mengikutsertakan pemakai, perencana, dan pengambil keputusan pada semua
tingkatan, yakni mengelola air bersama masyarakat dan berdekatan dengan
masyarakat (terintegrasi secara padu). Dari prinsip ini jelas terlihat bahwa
pengelolaan SDA, merupakan tugas dan tanggungjawab semua pihak secara terpadu,
dan bukan hanya menjadi tugas pemerintah dengan instansi teknisnya. Jadi jelas
bahwa faktor yang menjadi tantangan bersama adalah: bagaimana melaksanakan agar
pengelolaan Sungai Terpadu dapat terlaksana dengan baik untuk kepentingan
semua. Dengan demikian semua pihak harus berupaya untuk mengatasi kendala pengelolaan sungai yang paling signifikan bahwa “pendekatan kegiatannya yang sangat
interdisipliner” dan melibatkan semua pihak, termasuk dalam bidang teknik,
sosial, ekonomi, budaya, lingkungan, dsb, yang semuanya dituntut dengan
pendekatan pelaksanaan secara “terintegrasi”.
3.5 Prinsip Pendekatan Pengelolaan SDA Terpadu
Berkaitan dengan prinsip
utama yang harus menjadi pertimbangan dalam pelaksanaan pengelolaan SDA
terpadu, setidaknya harus berdasarkan kepada: (1) Upata teknis struktural yang
efektif berdasarkan masterplan yang terpercaya; (2) Penyelenggaraan berdasarkan
keterpaduan para pihak terkait bersama masyarakat dan pemilik kepentingan; dan
(3) Pendekatan partisipatif melibatkan masyarakat (melalui program kepedulian
masyarakat).
Program kepedulian
masyarakat: Pembangunan kepedulian masyarakat tentang keterbatasan, kelangkaan
dan kerentanan SDA sangat efektif dalam meyakinkan masyarakat untuk
memanfaatkan Sumber Daya Air ini ini seefisien dan sehemat mungkin dan
berkelanjutan dengan prinsip “Bagi-manfaat”, “bagi-biaya”, dan “bagi-resiko”
secara transparan dan berkeadilan.
3.6 Perspertive Pengelolaan dan Konservasi SDA Jangka panjang
Mengingat
kompleksnya upaya pengembangan dan kompleksnya kendala dan permasalahan yang
dihadapi, maka setidaknya pengelolaan dan konservasi SDA maka perlu
mengantisipasi upaya jangka panjang
antara lain:
(1) Pengawetan dan rehabilitasi wilayah-wilayah
sungai superkritis; (2) Perancangan SDA (Basin Water Resources Planning)
dan Strategi Pengelolaan (Basin Water Rresources Management); (3) Pengalokasian air yang layak, manajemen
kulitas air, manajemen banjir, didukung oleh D-base yang lengkap, Pengelolaan
Sistem Informasi & instrumen pengaturan dan penegakannya (enforcement of
regulatory instrument); Upaya
non-struktural juga harus ditingkatkan, berupa peningkatan kepedulian dan
pengertian masyarakat tentang air dan lingkungannnya – melalui kampanye kepedulian
masyarakat; (4) Penggalakan gerakan hemat air (Water saving and
Water Conservation Movements);
(5) Penggalakan Program Reforestrasi dan
Program penghijauan kembali daerah tangkapan air; (6) Aplikasi penerapan
Tencana Tata Ruang yang Konsisten; (7) Review menyeluruh, dan
re-evaluasi alokasi SDA, Sistem hak-air dan sistem hak pakai air.
IV. REKOMENDASI
Dengan peningkatan pengertian, kepedulian dan partisipasi masyarakat,
diharapkan dari sekarang memulai tanpa menunda-nunda lagi tindak nyata antara
lain: (1) Pengawetan dan rehabilitasi wilayah-wilayah sungai superkritis; (2)
Perancangan SDA (Basin Water Resources Planning – BWRP) dan Strategi
Pengelolaan (Basin Water Resources Managemen – BWRM); (3) Pengalokasian air yang layak, manajemen
kulitas air, manajemen banjir, didukung oleh D-base yang lengkap, Pengelolaan
Sistem Informasi & pengembangan instrumen pengaturan dan penegakannya (enforcement
of regulatory instrument); (4) Peningkatan dan penggalakan upaya
non-struktural melalui kampanye kepedulian masyarakat; (5) Penggalakan gerakan
hemat air (Water saving and Water
Conservation Movements); (6) Program Reforestrasi dan Program penghijauan
kembali; (7) Aplikasi penerapan Tencana Tata Ruang yang Konsisten; (8) Review
menyeluruh, dan re-evaluasi alokasi SDA, Sistem hak-air dan sistem hak pakai
air.
DAFTAR PUSTAKA
Committee on Restoration of
Aquatic Ecosystems: Science,
Technology, and Public Policy, Water Science and Technology Board, Commission
on Geosciences, Environment, and Resources, National Research Council. 1992. Restoration of Aquatic Ecosystems.
National Academy Press. Washington DC
Hafied a. Gany. Perspektif pengelolaan sungai terpadu. Seminar
nasional & workshop ”pengelolaan sungai di indonesia”, yang diselenggarakan
oleh center for river basin organizations and
management - crbom, dengan balai sungai, puslitbang sda, di lor-in
hotel, solo, 24-25 november 2010
Jain CK, Bhatia KKS, Seth SM. Assessment of point and
non-point sources of
pollution using a chemical mass balance approach. Hydrological sciences—journal—des sciences hydrologiques, 43(3) June. p 379-390
,
Tidak ada komentar:
Posting Komentar