Selasa, 29 Mei 2012

Ekosistem Sungai


I. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang
            Sungai merupakan ekosistem perairan mengalir yang memiliki banyak manfaat untuk kehidupan makhluk hidup. Manusia banyak memanfaatkan perairan sungai termasuk areal sekitarnya antara lain sebagai sumber air untuk kebutuhan sehari-hari, aktivitas perikanan tangkap, budidaya, rekreasi, tempat penggembalan ternak, pembangkit listrik, bahkan untuk industri.
Berbagai introduksi aktivitas manusia dari hulu hingga ke hilir, akan dapat menyebabkan terjadinya perubahan ekosistem ke arah negatif yang mengganggu keseimbangan ekosistem di dalamnya bahkan dapat menyebabkan areal perairan sungai tersebut menjadi rusak. Hal ini tentu akan menyebabkan perairan tersebut tidak berfungsi lagi sesuai peruntukannya. Oleh karena itu, dibutuhkan adanya upaya restorasi perairan sungai dan alirannya agar dapat mempertahankan kelestarian ekosistem sehingga sungai dapat kembali bermanfaat bagi makhluk hidup sebagimana mestinya.

1.2 Tujuan
Tujuan dibuatnya makalah ini adalah untuk mendeskripsikan hal-hal yang berhubungan dengan sungai dan aliran sungai berkaitan dengan upaya restorasinya


II. SUNGAI DAN ALIRANNYA

2.1 Filosofi Dasar dari Keteraturan Sistem Sungai
Sungai adalah suatu sistem yang komplek namun sungai mempunyai karakteristik yang teratur. Karakteristik sungai ini secara sektoral sudah banyak diungkap oleh para ahli morfologi, hidraulik, dan ekologi sungai. Namun konsep integralitas (meliputi ekologi dan hidraulik) belum banyak dikembangkan. Pengetahuan tentang karakteristik integral suatu sungai yang dikelola sangat penting. Setiap pengelolaan harus melihat, menyesuaikan, dan mengharmonisasikan dengan karakteristik keteraturan sungai yang bersangkutan. Dengan cara demikian dampak negatif yang timbul akibat kesalahan dalam pengelolaan dapat diminimalisir.
Pada era permulaan pembangunan dan pengembangan sungai, para insinyur hidro sama sekali tidak memasukkan karakteristik keteraturan sungai secara hidraulik dan ekologi sebagai bagian dari masukan untuk pengambilan keputusan.  Sehingga hail pembangunan sungai justru banyak yang bertentangan atau melawan karakteristik keteraturan sungai  tersebut.  Sebagai suatu contoh konkrit adalah pelurusan sungai di daerah midstream (bagian tengah) dan downstream (bagian hilir) yang banyak dilakukan di Eropa, Jepang, dan Amerika.  Pelurusan sungai ini sangat bertolak belakang dengan karaktersitik bentuk meander sungai didaerah tengah dan hilir.  Akibatnya adalah bahwa disamping kerusakan ekologi sungai, harus disediakan dana operasi dan pemeliharaannya secara ekstra dan terus menerus, karena sungai yang diluruskan tersebut mempunyai kecenderungan kuat untuk kembali bermeander sehingga mengerosi tebing kanan kiri tanggul pelurusan. Demikian juga sebaliknya didaerah hulu karakteristik sungai relatif lurus, jika dibelokkan akan berakibat fatal, karena sungai akan tetap cenderung mencapai alur lurus. Jadi untuk melakukan suatu rekayasa sungai diperlukan pengetahuan dan filosofi karakteristik sungai secara lengkap.  Jika tidak maka upaya rekayasa apapun akan justru merusak sungai secara serius.
Seperti kita ketahui sungai dan aliran sungai mempunyai banyak kesamaan dalam bidang ekonomi, dan nilai lingkungan seperti halnya danau. Terkait dengan penggunaan manusia terhadap sungai telah mulai lebih awal di sungai karena pentingnya sungai sebagai jalur transportasi. Sayangnya selain memiliki fungsi sebagai sarana yang sangat nyaman dan murah, tetapi juga dapat merupakan sarana aliran untuk pembuangan limbah industri dan rumah tangga. Sungai mampu membersihkan melalui proses alami sebelum air mencapai hilir. Akibat perluasaan permukaan dalam volume dan jarak yang lebih dekat menyebabkan limbah banyak mengandung senyawa toksik yang tinggi, rusaknya ekologi dan kemungkinan untuk pembersihannya terbatas. Pada saat yang sama, pertanian, pertambangan, dan kegiatan pemanenan kayu dipercepat, mengakibatkan perubahan luas DAS, dataran banjir, dan tepi pantai yang pada gilirannya mengubah air dan sedimen di sungai dan alirannya, sehingga memberikan dampak buruk terhadap komunitas tumbuhan dan hewan. Arus dan kapasitas pengenceraanya berkurang atau dirubah dengan adanya bendungan, irigasi, aliran air di interbasin. Dampak kumulatif dari semua perubahan ini kadang tidak berpengaruh langsung karena sifat tambahan dari perubahan yang terjadi.
Perubahan  yang menekankan sistem air mengalir dapat memberikan kerugian diantaranya manusia sebagai pengguna dan jasa lingkungan. Lebih ditekankan pada (1) Kuantitas air dan alirannya (2) modifikasi dari saluran dan zona tepi pantai (3) erosi dan sedimentasi yang berlebihan, (4) penurunan kualitas substrat, (5) penurunan kualitas air, (6) penurunan spesies asli, dan (7) introduksi spesies asing dan sumber masalah bisa di daerah aliran sungai, di sepanjang zona tepi pantai atau dataran banjir, atau di saluran dan kolam.
Menekankan pada komponen biotik ekosistem sungai dan aliran, timbul
dari (1) perubahan dalam jumlah, mutu, dan ketersediaan musiman makanan bagi organisme, (2) penurunan kualitas air, termasuk perubahan suhu dan kekeruhan yang berlebihan dan sedimen, (3) modifikasi habitat, termasuk substrat; (4) kuantitas air, dan (5) interaksi biotik (Gambar 4)
.fokus masalah bisa di daerah aliran sungai, di sepanjang zona tepi pantai  atau dataran banjir, atau di saluran dan kolam.
Berikut ini adalah deskripsi tekanan akibat adanya aktivitas manusia yang memberikan tekanan pada sungai dan alirannya.

2.1.1 Polusi sumber terpusat (point sources of pollution)
Aktivitas manusia merupakan faktor yang memberikan dampak utama pada sungai. Buangan dari pusat populasi (penduduk) dan industri merupakan polusi dengan sumber terpusat (end-of pipe), sedangkan penggunaan DAS oleh manusia (agrikultur dan silikultur) dapat menimbulkan polusi tidak terpusat (nonpoint pollution). Pada awalnya, limbah kota dan industri dengan mudah dialirkan ke anak ungai yang paling dekat. Kemudian, seiring dengan pertumbuhan populasi dan munculnya waterborne disease, limbah dikumpulkan di saluran dan dialihkan jauh dari area pemanfaatan air.
Sistem sungai memang sangat berkaitan dengan banyak polusi point and non-point source. Memonitoring semua sumber parameter di semua bagian sungai tentu idaklah mungkin. Selain sulit dan mahal untuk memonitor, terdapat juga analisis error (Jain, Bhatia, & Seth, 1998).  Pendekatan merestorasi kualitas air adalah untuk mengembangkan kriteria untuk bermacam-macam kegunaan air dan kemudian desain instalasi pengolahan air limbah yang akan mencapai buangan standar yang akan melindungi atau merestorasi manfaat sungai dan aliran sungai termasuk ikan dan kehidupan liarnya dan kegunaan untuk pemenuhan kebutuhan air masyarakat. Bagaimanapun juga, buangan toksikan point atau non point sources menyisakan masalah dan mewariskan polutan termasuk toksikan yang menyisa di sedimen dan dapat memasuki rantai makanan. 

2.1.2 Polusi dengan sumber menyebar (nonpoint sources of pollution)
Sistem river-riparian adalah kondisi bagaimana saluran air ditutupi oleh tipe vegetasi dan bagaimana lahan darat digunakan (grazed, cropped, atau urbanized). Lebih dari 30 tahun (1960-1980-an), kategori penggunaan lahan utama berubah sangat kecil. McElroy et al. (1975) dalam Committee on Restoration of Aquatic Ecosystems  (1992) menemukan bahwa 97% lahan di US adalah pedesaan dan merupakan sumber yang potensial sebagai nonpoint pollution, termasuk sedimen, limbah ternak, nutrien, dan pestisida; 64% digunakan agrikultur atau silvikultur dan hanya 0.6 % dimanfaatkan untuk pertambangan dan bangunan. Nonpoint pollutant disefinisikan sebagai kontaminan permukaan maupun di bawah permukaan tanah dan air yang tersebar masuk ke alam dan tidak dapat dilacak asalnya dari satu lokasi (Eisakhani et al., 2009).
Nutrien dan toksikan mungkin terlarut dalam air atau partikel mungkin tersedimentasi di sungai dimana material-material ini dapat sampai ke hilir, terakumulasi dan mengendap di area tertentu, dimakan oleh organisme, atau terlepas kembali ke kolom air. Sedimen yang kaya bahan organik akan melepaskan amonia dan sulfida dan menciptakan kondisi DO yang rendah karena adanya proses dekomposisi.
Asosiasi antara kehutanan dengan pertanian tidak hanya meningkatkan masukan polusi ke sungai tetapi juga mengubah struktur fisik dan fungsi ekosistem river-riparian, sebagaimana didiskusikan pada di bawah ini mengenai overgrazing dan saluran dan kanalisasi.

a. Overgrazing
Pemanfaatan rumput secara berlebih (overgrazing) oleh ternak di area riparian adalah masalah utama. Lahan di area riparian yang berada dalam kondisi baik berubah menjadi kondisi yang lebih buruk karena ternak (dan hewan liar) menghabiskan waktu yang lama dan memakan (graze) lebih banyak di area riparian yang terairi dengan baik.
Overgrazing oleh ternak dapat mengeliminir vegetasi di tepi sungai secara langsung, atau tidak langsung sebagai hasil dari longsornya atau terinjak-injaknya tepi sungai yang dapat memicu pelebaran saluran, agradasi saluran, dan penurunan kualitas air di hilir karena turbiditas, sedimentasi, dan limbah kotoran ternak. Air dapat menjadi terlalu keruh, hangat, dan dangkal dan substrat juga menjadi terlalu tertahan oleh sedimen halus yang mendukung ikan asli dan makanan dasar mereka.

b. Drainase dan kanalisasi
Dampak kanalisasi pada habitat ikan dan invertebrata mencakup penghilangan atau hilangnya vegetasi riparian, hilangnya penutupan sungai, penurunan sinusitas sungai, berubahnya komposisi substrat, meningkatnya velositas sungai, meningkatnya erosi tepi sungai, meningkatnya sedimen tersuspensi, dan meningkatnya temperatur air.

c. Sedimen tersuspensi dan Endapan sedimen
47% material sedimen berasal dari nonpoint sources of pollution. Ukuran partikel berkisar dari batu-batuan, kerikil, dan pasir, sampai lumpur yang sangat halus. Partikel besar biasanya menempati dasar dengan cepat, namun lumpur yang halus tetap tersuspensi untuk waktu yang lama, menyebabkan kekeruhan. Karena kekeruhan dapat menyebabkan cahaya terpencar dan terserap daripada terpancar dalam satu garis lurus, penetrasi cahaya berkurang dan menurunkan bahkan mengeliminir pertumbuhan tanaman. Ketika tanaman di tepi sungai tereliminasi, kekeruhan menjadi semakin buruk.
Pada air yang jernih, ditemukan banyak makhluk hidup yang sukses bereproduksi. Selain itu, berhubungan dengan penglihatan untuk makan, banyak spesies menunjukkan reproduksi kompleks dan kebiasaan yang bergantung pada penglihatan. Reduksi jarak penglihatan mengganggu penglihatan dan menyebabkan reduksi reproduksi.
Meskipun beberapa organisme dewasa dapat bertahan dengan kondisi sedimen di air untuk beberapa hari atau minggu, populasi akan secepatnya mati karena kelaparan, kegagalan reproduksi, atau stress yang terakumulasi. Demikian, efek jangka panjang dari sedimen tersuspensi kronis akan merubah komposisi spesies dalam badan air  melalui perubahan habitat dan suplai makanan.

Keragaman topografi di dasar sungai atau aliran sungai adalah penting dalam menjaga keragaman tanaman dan hewan. Di area yang dangkal dengan laju air yang cepat, tepian berkerikil dan beriak menyediakan habitat dan spawning area untuk berbagai organisme. Dimana terdapat arus yang lebih lambat, vegetasi tenggelam dan mencuat tumbuh dan menyediakan makanan dan menjadi tempat berlindung bagi berbagai hewan akuatik.
Ketika endapan sedimen melebihi transpor sedimen, endapan sedimen halus dapat menutupi dasar berkerikil yang mana beberapa organisme butuhkan untuk makanan dan reproduksi dan mungkin mengisi bagian yang lebih dalam dan menutupi batuan dimana ikan hidup dan makan. Sedimen yang halus mempengaruhi invertebrata, telur ikan dan larva di zona hyporheic. Zona hyporheic merupakan tempat perlindungan dari predator dan arus yang cepat dan sebagai area mencari makan untuk instar awal.
Jika sudah masuk ke air, sedimen dapat menjadi sumber atau pembenaman nutrien, bergantung kondisi pH, suhu, potensi redoks, dan kandungan nutrien yang tersedia di air. Sebagai contoh, fosfor di air dan fosfor yang terbawa ke air di sedimen akan mencapai keseimbangan. Jika tanaman mengambil fosfor di air, maka sedimen bisa menyuplai lebih. Jika terdapat kelebihan fosfor terlarut, maka sedimen akan mengambilnya. Pada kekeruhan yang sangat ekstrim, keberadaan nutrien-nutrien ini akan menjadi tidak jelas karena cahaya tidak mencukupi untuk pertumbuhan tanaman.
Selain itu, sejumlah senyawa toksik diserap oleh partikel tanah yag bergerak ke sungai. Diantaranya adalah logam seperti tembaga, seng, dan timbal, yang diketahui terakumulasi di sedimen. Butts (1974) dalam Committee on Restoration of Aquatic Ecosystems (1992) menemukan bahwa oksigen dapat meningkat secara dramatis ketika sedimen mengandung material organik dan bakteri yang tersuspensi kembali oleh gelombang dan arus.

d. Dam dan Perubahan pola aliran
Dam telah ditempatkan pada setiap tipe dan ukuran perairan mengalir, dari hulu sungai sampai ke sungai Mississippi. Croome et al. (1976) dalam Committee on Restoration of Aquatic Ecosystems (1992) berpendapat bahwa kira-kira 66% aliran sungai total dunia akan dikontrol oleh dam.
Selain dari efek dari perubahan air mengalir menjadi air yang diam, mengubah pola aliran di hilir baik pada air maupun sedimen dan memblok migrasi organisme akuatik, dam juga mengubah kualitas air dan menginisiasi perubahan jangka panjang pada kanal hilir, zona riparian, dan rawa banjiran.
Contoh yang sangat bagus adalah hilangnya perikanan Mediteranian akibat pembangunan Aswan Dam di Mesir. Nursey ground untuk spesies ikan Mediteranian terletak di belakang sandbar di mulut sungai Nil yang paralel dengan pesisir.  Hilangnya material partikulat karena arus telah digantikan oleh penambahan material sedimen baru dari Sungai Nil. Ketika pembaruan berhenti, sandbar tergerus dan secara serius mempengaruhi nursery ground.
Pola aliran tahunan telah berubah tidak hanya oleh dam tapi juga karena pengalihan, penggunaan untuk irigasi, evaporative cooling, dan and akselerasi  runoff pada DAS.Di area perkotaan dan pinggiran kota, air hujan pada permukaan yang kedap air akan langsung masuk ke perairan melalui saluran air. Hal yang sama terjadi pada area agrikultur, selokan dan kanal sungai. Hasil akhir dari penggunaan lahan tersebut adalah puncak banjir yang lebih tinggi dan saat surut menjadi lebih lama dari pada masa lalu karena kurangnya retensi air di perairan tersebut.
Perubahan pola aliran sering memicu perubahan yang tidak diinginkan dalam endapan dan erosi. Sedimen dapat mengakumulasikanal produktif lebih dulu dan menahan air di hilir atau proses erosi di hulu dimulai. Selama musim kemarau,mungkin terlalu sedikit aliran di sungai termodimifikasi ini untuk mendukung makhluk hidup akuatik dan kegunaan hilir lainnya.

e. Penangkapan  dan Lalu lintas perahu
Populasi ikan sport tampak lebih terancam oleh hilangnya habitat dan polusi dibandingkan dengan panen lebih. Namun bagaimanapun juga tangkap lebih menjadi perhatian dan termasuk reintroduksi spesies sebagai salah satu teknik nonstruktural dari restorasi sunga dan alirannya. Meningkatnya populasi manusia berdampak pada reduksi habitat dan pada akhirnya menurunkan hasil tangkapan pancing ikan.  Pembatasan penggunaan sumberdaya tersebut merupakan salah satu cara untuk melindunginya, namun pemerintah enggan untuk menurunkan kesempatan rekreasi, dan walaupun pemerintah pusat dan lokal memantau populasi dan mengatur penangkapan spesies yang penting, tidak ada cara untuk menghitung tangkapan ilegal.
Tekanan dapat terjadi oleh adanya proyek navigasi dan dan lalu lintas perahu (Rasmussen, 1983 dalam Committee on Restoration of Aquatic Ecosystems, 1992). Perpindahan air, pencucian baling-baling, dan baling-baling perahu mensuspensikan kembali sedimen dasar, meningkatkan erosi tepi sungai, dan dapat menyesatkan dan melukai spesies akuatik yang sensitif. Organisme akuatik dapat juga terbentur baling-baling atau badan perahu. Terakhir limbah buangan dan tumpahan minyak dari perahu ataupun fasilitas lainnya dapat mengintroduksi polusi dan eksotik spesies.

f. Asam
Efek dari rendahnya pH pada makhluk hidup akuatik sangat sulit dipisahkan dari efek polutan lainnya, perubahan habitat fisik, dan perubahan pola stok yang mungkin terjadi secara simultan. Selain itu, sulit untuk menentukan kontribusi dari berbagai macam anion asam. Sebagai contoh, pada beberapa sungai, perubahan  dapat terjadi pada sumber keasaman dan proporsi relatif dari ion organik dan inorganik (sungai yang asam secara alami karena asam organik menjadi lebih asam karena pengendapan sulfat atmosfer.


III. RESTORASI SUNGAI
3.1 Identifikasi Karakteristik Morfologi Sungai Rawan
Gany (2010) menjelaskan mengenai peta kerusakan sungai, dapat disimpulkan bahwa di samping kurangnya upaya pemeliharaan dan pelestarian, juga diakibatkan karena kurangnya pemahaman terhadap lokasi dan kharakteristik morfologi sungai yang semustinya bisa dicegah kerusakannya kalau diketahui peta lokasi yang rawan di tiap-tiap bagian sungai. Dari penangan masalah persungaian, baik yang bersifat protektif, repressif, maupun rehabilitatif, pada umumnya, yang menjadi pertimbangan utama yang selalu menjadi prioritas utama, adalah pengenalan kharakteristik fisik sungai melalui identifikasi dan pemetaan lokasi morfologi, khususnya yang rawan dan memerlukan kehati-hatian dan penangan khusus. Dengan demikian lembaga yang berwenang menangani pengelolaan dapat mengendalikan sesuai dengan perlakuan yang dibutuhkan lokasi yang teridentifikasi.
Pengenalan Lokasi dan Kharakteristik Morfologi Sungai: Secara teoritis, pentingnya pengenalan morfologi sungai ini, sudah diketahui oleh kebanyakan ahli teknik persungaian, namun mengingat bahwa hal ini perlu pengkajian yang rinci untuk mengidentifikasi dan memetakannya, memerlukan upaya yang sangat intensif dan mahal, (sementara pengelolaan jangka pendek tidak dianggap sebagai urgensi yang mendesak), maka hal ini selalu tertinggal ketimbang upaya pembangunan infrastruktur fisik terkait. Sebagaimana dalam pengembangan dan pengelolaan infrastruktur lainnya, dalam bidang persungaian, bagaimanapun piawainya seseorang dalam pelaksanaan pengembangan dan pengelolaan, tanpa mengetahui dan mengenal kharakter yang akan ditangani, tentu akan mengalami kesulitan. Hal hal yang mutlak untuk dimiliki lembaga pengelola sungai antara lain adalah: Kharakeristik pembentukan jalur-jalur sungai yang sangat tergantung pada kondisi geologi dan kondisi geomorfologi di mana sungai mengalir, di mana kategori morfologi pengaliran sungai pada umumnya dikelompokkan atas: (1) Dataran rendah alluvial; dan (2) Dataran tinggi.
Dataran Rendah Alluvial: Kategori di dataran rendah alluvial adalah: Anastomatik di mana alirannya airnya berkelok-kelok dengan danau-danau berbentuk bulan sabit, alur kelokan sungai saling tertutup, kemiringan dasar sungainya yang relatif kecil. Bisa juga berbentuk Braided, karena penurunan kemiringan sangat rendah sehingga menyebabkan akumulasi sedimentasi, morfologi badan sungai berubah ubah, sehingga tidak mampu mengalirkan debiet;
Kharakteristik lain yang sangat penting namun sering dilupakan adalah bahwa di dataran rendah alluvial adalah, sering terjadi bentuk dichotomic, khususnya pada tanah alluvial berbutir kasar dengan bentuk kipas, umumnya badan sungai hilang karena resapan air yang besar. Biasa juga terjadi bentuk reticular khususnya pada pada kawasan pantai yang terpengaruh pasang surut, kemiringan kecil, dan melebar dengan lahan rawa merata;
Dataran Tinggi: Katagori bentuk aliran di dataran tinggi umumnya terdiri atas: (1) Kendali struktur; dan (2) Kendali material. Dimana Kendali struktur terdiri umumnya dari bentuk annular, yaitu struktur yang berbentuk kubah akibat daya sedimentasi vertikal membentuk tipe radial. Sering juga terjadi bentuk rectangular, biasanya pada daerah patahan, dengan bentuk aliran mengikuti patahan batuan. Juga bisa terjadi bentuk trellis, yaitu alur sungai berbentuk lurus paralel akibat pembentukan sedimentasi di daerah patahan di kawasan tersebut. Sementara itu, Kendali material, bisa berbentuk radial, yang umumnya terbentuk tanpa terpengaruh struktur geologi di daerah pegunungan berapi. Terkadang juga berbentuk dendritic, yakni bentuk percabangan yang tidak teratur seperti bentuk cabang pohon, umumnya karena bentuk badan sungai ditentukan oleh kelandaian dasarnya. Dalam hal berbentuk parallel, umumnya terjadi bentuk sesuai dengan kesetaraan kemiringan dasar sungai, di mana struktur struktur geologi tidak menjadi penentu bentuk parallel ini.
Faktor yang mempengaruhi morfologi: Faktor lain yang sangat penting untuk menjadi pertimbangan dalam penetapan langkah struktur pengelolaan sungai adalah faktor yang mempengaruhi terbentuknya morfologi sungai. Karena dengan mengetahui hal tersebut, langkah-langakah yang bersifat struktural maupun non struktural dapat ditempuh baik untuk langkah yang bersifat preventive, repressive maupun yang bersifat rehabilitatif. Setiap langkah struktural maupun non struktural yang ditempuh tanpa mempertimbangkan karakteristik pembentukan morfologi, berarti akan menentang daya air yang cenderung akan berdampak ke arah yang tidak dikehendaki. Faktor yang mempengaruhi pembentukan dan kharakter morfologi yang juga harus diidentifikasi dan diketahui antara lain: (1) Volume aliran sungai, lama berlangsungnya volume aliran tertentu dan distribusi pengaliran air dan kandungan sedimen. Hal ini haruslah dipantau dan dicatat secara rutin, karena variasi kejadiannya sulit diketahui melalui model simulasi; (2) Material yang menjadi bahan dasar terbentuknya tanah yang dilewati sungai, ini juga sangat penting untuk diteliti agar tidak keliru dalam menetapkan variabel dalam perhitungan fisik untuk langkah struktural; (3) Kondisi topografi apakah landai, datar, bergelombang, sangat menentukan besaran parameter; (4) Kondisi cuaca yang berpengaruh; (5) Kondisi dan jenis vegetasi yg menutupi; dan (6) Tataguna lahan di daerah aliran sungai. Semua faktor tersebut di atas, harus terus menerus diamati dan dicatat agar dapat mengenal serta menyesuaikan dengan pendekatan penanganan pengelolaan yang harus ditempuh.
Model tes Micro untuk Menyelidiki Kharakteristik Sungai: Berdasarkan pengalaman pengalaman penerapan  pendekatan struktural penanganan sungai, dengan metode trial-and-error, hal tersebut sangat mahal dan memerlukan waktu yang sangat lama, maka dalam proses mengetahui karakteristik sungai yang akan kita manfaatkan dalam perencanaan pengembangan dan pengelolaan sungai, misalnya untuk perencanaan jembatan yang melintasi sungai besarsaat ini diperlukan model test mikro yang pada dasarnya bertujuan untuk: (1) Menguji fenomena kharakter sungai yang sulit diantisipasi di lapangan; (2) Mengantisipasi pengaruh perubahan morfologi pada berbagai besaran debiet banjir; (3) Mengamati simulasi proses perubahan sungai terburuk setelah jembatan dibangun; dan (4) Simulasi kejadian terburuk dalam skala mikro – sebagai upaya menghemat biaya penelitian dengan skala lapangan (1:1). 
Model tes dilakukan di laboratorium hidrolika yang sudah terakreditasi, baik di ruangan tertutup (indoor) maupun laboratorium terbuka (outdoor). Pelaksanaannya supaya lebih effektif, harus menggunakan peta skala kecil yg memuat profil memanjang - melintang sungai ditempat akan dibangun jembatan arah hulu dan hilir sejauh aliran air akan berpengaruh.

3.2 Berbagai Contoh Penangan Fisik Pengelolaan Dan Pengamanan Sungai Yang Dilakukan Berbasis Kharakter Morfologi Sungai
Berdasarkan idetifikasi, peta kharakterisistik morfologi dan data-data aliran serta angkutan sedimen serta sifat-sifat specifik sungai yang peroleh dari aktivitas penelitian tersebut di atas, dapat dengan mudah ditetapkan langkah-langkah pengelolaan maupun pengendalian serta penanggulangan daya rusak air yang diperlukan. Misalnya, dengan mengetahui kharakteristik sungai yang meandering, di mana umumnya aliran sungai akan lebih besar pada sisi tikungan luar, akan selalu mengakibatkan pengendapan di tikungan bagian dalam. Hal ini jika dibiarkan berlangsung tanpa upaya pengendalian, pada gilirannya akan membagi aliran air akibat terkumpulnya tumpukan sedimen yang memaksa terbentuknya alur sungai baru yang sangat menyulitkan pengelolaan struktural maupun non struktural. Lihat Gambar 2 dan 3. Sketsa dan foto karakteristik aliran pada sungai meandering (berliku-liku) dan pada sungai yang braided (berjalin).
Dari Gambar 2 dan 3. jelas terlihat bagaimana kharakter aliran sungai yang mengakibatkan penggerusan pada tikungan sungai yang berbelok belok dan mengakibatkan kumpulan pengendapan pada sungai yang berjalin (braided). Keduanya memerlukan perhatian khusus bagaimana menangani upaya pengelolaan sehingga tidak menimbulkan dampak yang tidak diinginkan akibat kharakteristik sungai yang berbeda-beda tersebut.

Sungai Berliku
Sungai Berjalin
Gambar 2. Gambaran skhematis kharakteristik sungai yang berliku-liku (meandering) dan yang berjalin (braided), yang memerlukan penangan yang berbeda.
 









Pada sungai meandering juga masalah yang sangat banyak dijumpai adalah kerusakan akibat degradasi. Khusus mengenai sungai yang terbentuk dari alluvial dengan alur sungai yang tergerus pada sisi-sisinya, akan membawa akibat terjadinya erosi yang bisa mengakibatkan bencana tanah longsor. Hal ini disebabkan karena sisi yang tergerus akan terus menggerus di bawah muka air. Belum lagi kalau terjadi penagaruh energi lain, misalnya pengaruh angin, hujan, dan prilaku manusia yang tidak bersahabat dengan lingkungan.
Gambar 3. Gambaran skhematis dan foto kharakteristik sungai yang berliku-liku (meandering) dan yang berjalin (braided), yang memerlukan penangan yang berbeda. (Sumber: Pengelolaan Sungai Mississippii)
 









Penanggulangan masalah degradasi, merupakan hal yang perlu upaya uang memakan waktu panjang, baik dalam bentuk pengamatan langsung di lapangan maupun mempergunakan model test mikro. Hal lain yang memerlukan perhatian dan pengalaman khusus adalah, karena karakteristik degradasi dipengaruhi oleh berbagai kondisi lapangan yang spesifik, sehingga penanganan masalah di satu lokasi, tidak akan sama dengan lokasi lainnya (sangat bersifat site specific). Misalnya, penanganan penanganan degradasi di salah satu belokan sungai Mississippi, Amerika Serikat, memerlukan waktu (mulai tahun 1934, dan baru berhasil tahun 1956) dan upaya yang cukup lama dengan perlakuan yang bersifat trial-and-error. Lihat Gambar 4. berikut untuk ilustrasi penanganannya.
Gambar 4. Pelaksanaan penanggulangan degradasi di salah satu belokan sungai Mississippi, yang berlangsung sejak tahun 1934 s/d tahun 1956.
(Sumber: Pengelolaan Sungai Mississippi)
 










Pemanfaatan Eco-Technology: Saat ini setelah melalui pengalaman penanganan pengelolaan sungai dengan pendekatan struktural fisik, terdapat kecenderungan untuk mulai meninggalkan pendekatan tersebut dengan menerapkan teknologi yang berwawasan lingkungan (eco-technologi) sehingga infrastruktur fisik yang dibangunan untuk stabilisasi bantaran sungai atau aliran sungai tidak membawa dampak negatif. Ini misalnya, dilakukan pada penggunaan revetment pada berbagai pengelolaan sungai yang tadinya secara tradisional menggunakan susunan batu kosong dengan berat rata-rata 200 kg setiap batu, didapati bahwa penggunaan batu kosong ini lebih mantap dudukannya dengan penggunaan gradasi batu dengan ukuran maksimum 2500kg per buah. Hal ini menjadikan bantaran sungai lebih mantap dan lama-lama dapat ditumbuhi pepohonan yang menunjukkan kembali karakter alamiah bantaran sungainya.
Stabilisasi Bantaran Sungai dengan Krib Bertingkat: Stabilisasi dan perbaikan bantaran sungai dapat juga ditempuh dengan metode krib bertingkat. Bentuk ini akan mencegah pengendapan sedimen akibat pusaran air. Setiap muka krib ditinggikan sekitar 60 cm melebihi krib sebelumnya. Cara ini akan mengubah kharakter pengendapan sedimen. Pada akhirnya membentuk bantaran sungai yang stabil (Gambar 5).
Gambar 5. Pelaksanaan stabilisasi bantaran sungan dengan krib bertingkat di salah satu bagian sungai Mississippi, yang cukup berhasil membuat bantaran stabil (Sumber: Pengelolaan Sungai Mississippi)
 











3.3 Pemeliharaan Dan Pengamanan Sungai
“We must look after rivers like we care our lovers. Make sure rivers are always beautiful”. “Kita harus memelihara sungai laksana kekasih kita. Upayakanlah agar sungai senantiasa tampak cantik berseri”. (Mahatir Muhammad: Malaysian Love our Rivers Campaign 2000 – The Straight Times, Asia, May 2001).
Mengutip ungkapan bijak Perdana menteri Negeri Jiran (Mahatir Muhammad) pada saat Kampanye kepedulian masyarakat terhadap pengelolaan sungai tahun 2000 tersebut di atas, nampaknya sangat bijaksana untuk memelihara dan mengamankan sungai sebagai harta yang tak ternilai bagi kehidupan kita umat manusia. Sangat tepat kiranya pendekatan penanganan pengelolaan sungai dengan pendekatan yang berwawasan lingkungan (eco-technologi) sehingga infrastruktur fisik yang dibangunan untuk stabilisasi bantaran sungai atau aliran sungai tidak membawa dampak negatif bagi kehidupan manusia. 
Revetmen Batu Besar di Sungai Mississippi: beberapa contoh lain dalam penanggulangan dampak erosi dan degradasi adalah dengan penggunaan batu besar berupa revetmen lepas tepian sungai yang selalu mengalami gerusan dengan meletakkan tumpukan batu sejajar tepian sungai, sehingga menahan atau mengurangi terjadinya erosi (Gambar 6 - kiri). Pada sisi lain dibiarkan celahnya tidak ditutupi untuk memberi ruang gerak ikan yang ada.
Penggunaan tanggul dengan bentuk Chevron biasa juga dipergunakan untuk perbaikan pengamanan sungai. Ini sekaligus memberi tempat untuk buangan pengerukan sungai, sekaligus menyempurnakan palung sungai. Penampungan buangan kerukan sungai lama-lama membentuk pulau kecil (Gambar 6 - kanan).
Tanggul penutup celah arus juga banyak digunakan dengan maksud untuk membentuk alur “bersahabat dengan lingkungan” (environmentally friendly). Secara tradisional ditutup dengan batu belah untuk mengarahkan air ke palung sungai. Bentuk struktur ini akan menciptakan air dalam dan dangkal menarik berbagai spicies, sehingga penanggulangan struktural fisik yang dilakukan tidak pernah mengganggu keseimbangan hidup spicies kehidupan sungai.

Gambar 6. Pelaksanaan stabilisasi bantaran sungai dengan batu besar lurus (kiri); dan Gambar Kanan dengan batu besar bentuk Chevron.  (Sumber: Pengelolaan Sungai Mississippi)
 











Penggunaan Kapal Keruk: Salah satu upaya pengamanan sungai adalah dengan penggunaan kapal keruk, yang banyak digunakan khususnya pada bagian-bagian sungai yang sering terganggu endapan, adalah dengan penggunaan kapal keruk, tapi saat ini penggunaan metode ini sudah mulai tidak populer karena memerlukan biaya tinggi dan juga tidak menjamin kinerjanya secara berkelanjutan.
Pemeliharaan dan Pengamanan Sungai yang Konsisten dan Berkelanjutan: Disamping pendekatan pemeliharaan yang berwawasan lingkungan, hal yang sangat perlu dijaga adalah keberlanjutan kepedulian berupa pemantauan dan pemeriksaan rutin terhadap kondisi pemeliharaan dan pengamanan. Ini perlu diketahui secara terus menerus dan ditangani segala gejala-gejala kerusakan atau pemeliharaan yang tidak konsisten dari dini. Misalnya, pada bagian bagian sungai yang sering mengalami fluktuasi aliran di Sungai Mississippi, pemantauan dan pengecekan dan tindak lanjut yang konsisten terus-menerus dilaksanakan tanpa menunggu gejala-gejala kerusakan menjadi lebih parah (Gambar 7).
Belokan 1
Belokan 2
Belokan 3
Belokan 5
Belokan 6
Krib pengaman pada tiap-tiap belokan sungai terus menerus dipantau
Gambar 7. Krib pengaman pada tiap-tiap belokan sungai, terus menerus dipantau, dan segera ditindaklanjuti dengan pengamanan bila ada gejala kerusakan.  (Sumber: Pengelolaan Sungai Mississippi)
 












Upaya Fisik Pengamanan Sungai Berkelanjutan: Upaya Fisik pengamanan sungai yang pada umumnya memerlukan pemantauan, penanganan dan berbaikan secara berkelanjutan adalah; (1) Penanganan sungai secara preventif dengan penanaman bertangga di daerah tangkapan sungai (trasering); (2) Pengamanan dasar sungai dengan bangunan ground sill; (3) Pembangunan tanggul di daerah hilir; (4) Penanganan represif dengan menanggulangi tanah longsor; (5) Pengerukan sungai secara periodik; (6) Pemasangan Bangunan pengendali sedimen; dan (8) dengan pengembangan dan penerapan Teknologi Sabo, untuk penanggulangan sedimen.

3.4. Perspektif Pengelolaan Sumber Daya Air Berbasis Wilayah SungaiTerpadu Dan Berkelanjutan
Prinsip-prinsip Kesepakatan Millennium Dunia berkenaan dengan Pengelolaan Sumber Daya air (The Millennium Guiding Principles): Mengingat bahwa Pengembangan dan Pengelolaan SDA sudah merupakan kesepakatan dunia, maka segenap upaya yang berkaitan dengan hal tersebut hendaknya selalu mengacu kepada kesepakatan dunia, yakni Kesepakatan Dublin, Irlandia 1992, yang diangkat menjadi basis Agenda 21, Rio de Janeiro, Brazilia, 1992, sebagai kutipan berikut:
 (Dublin Principles – 1992 the basis for the Rio Agenda 21): Principle No.1.  Freshwater is a finite and vulnerable resource, essential to sustain life, development and the environment, i.e. one resource, to be holistically managed; Principle No.2. Water development and management should be based on a participatory approach, involving users, planners, and policy-makers at all levels, i.e. manage water with people - and close to people; Principle No. 3. Women play a central role in the provision, management and safeguarding of water, i.e. involve women all the way; and Principle No. 4. Water has an economic value in all its competing used and should be recognized as an economic good, i.e. having ensured basic human needs, allocate water to its highest value, and move towards full cost pricing rational use, and recover costs (Dublin Statement, 26-31 Jan 1992).
Diantara empat prinsip kesepakatan dunia tersebut diatas, yang sangat relevan dan berkaitan dengan pengelolaan SADA berbasis Wilayah Sungai Terpadu adalah prinsip No. 2 (meskipun yang lainnya tidak terpisahkan), yang menyatakan bahwa: Pengembangan dan Pengelolaan SDA hendaknya dilaksanakan melalui pendekatan partisipatif, mengikutsertakan pemakai, perencana, dan pengambil keputusan pada semua tingkatan, yakni mengelola air bersama masyarakat dan berdekatan dengan masyarakat (terintegrasi secara padu). Dari prinsip ini jelas terlihat bahwa pengelolaan SDA, merupakan tugas dan tanggungjawab semua pihak secara terpadu, dan bukan hanya menjadi tugas pemerintah dengan instansi teknisnya. Jadi jelas bahwa faktor yang menjadi tantangan bersama adalah: bagaimana melaksanakan agar pengelolaan Sungai Terpadu dapat terlaksana dengan baik untuk kepentingan semua. Dengan demikian semua pihak harus berupaya untuk mengatasi kendala pengelolaan sungai yang paling signifikan  bahwa “pendekatan kegiatannya yang sangat interdisipliner” dan melibatkan semua pihak, termasuk dalam bidang teknik, sosial, ekonomi, budaya, lingkungan, dsb, yang semuanya dituntut dengan pendekatan pelaksanaan secara “terintegrasi”.

3.5 Prinsip Pendekatan Pengelolaan SDA Terpadu
Berkaitan dengan prinsip utama yang harus menjadi pertimbangan dalam pelaksanaan pengelolaan SDA terpadu, setidaknya harus berdasarkan kepada: (1) Upata teknis struktural yang efektif berdasarkan masterplan yang terpercaya; (2) Penyelenggaraan berdasarkan keterpaduan para pihak terkait bersama masyarakat dan pemilik kepentingan; dan (3) Pendekatan partisipatif melibatkan masyarakat (melalui program kepedulian masyarakat).
Program kepedulian masyarakat: Pembangunan kepedulian masyarakat tentang keterbatasan, kelangkaan dan kerentanan SDA sangat efektif dalam meyakinkan masyarakat untuk memanfaatkan Sumber Daya Air ini ini seefisien dan sehemat mungkin dan berkelanjutan dengan prinsip “Bagi-manfaat”, “bagi-biaya”, dan “bagi-resiko” secara transparan dan berkeadilan.
3.6 Perspertive Pengelolaan dan Konservasi SDA Jangka panjang
Mengingat kompleksnya upaya pengembangan dan kompleksnya kendala dan permasalahan yang dihadapi, maka setidaknya pengelolaan dan konservasi SDA maka perlu mengantisipasi upaya jangka panjang antara lain: (1) Pengawetan dan rehabilitasi wilayah-wilayah sungai superkritis; (2) Perancangan SDA (Basin Water Resources Planning) dan Strategi Pengelolaan (Basin Water Rresources Management);  (3) Pengalokasian air yang layak, manajemen kulitas air, manajemen banjir, didukung oleh D-base yang lengkap, Pengelolaan Sistem Informasi & instrumen pengaturan dan penegakannya (enforcement of regulatory instrument);  Upaya non-struktural juga harus ditingkatkan, berupa peningkatan kepedulian dan pengertian masyarakat tentang air dan lingkungannnya – melalui kampanye kepedulian masyarakat; (4) Penggalakan gerakan hemat air (Water saving  and Water Conservation Movements); (5) Penggalakan Program Reforestrasi dan Program penghijauan kembali daerah tangkapan air; (6) Aplikasi penerapan Tencana Tata Ruang yang Konsisten; (7) Review menyeluruh, dan re-evaluasi alokasi SDA, Sistem hak-air dan sistem hak pakai air.

IV.  REKOMENDASI
Dengan peningkatan pengertian, kepedulian dan partisipasi masyarakat, diharapkan dari sekarang memulai tanpa menunda-nunda lagi tindak nyata antara lain: (1) Pengawetan dan rehabilitasi wilayah-wilayah sungai superkritis; (2) Perancangan SDA (Basin Water Resources Planning – BWRP) dan Strategi Pengelolaan (Basin Water Resources Managemen – BWRM);  (3) Pengalokasian air yang layak, manajemen kulitas air, manajemen banjir, didukung oleh D-base yang lengkap, Pengelolaan Sistem Informasi & pengembangan instrumen pengaturan dan penegakannya (enforcement of regulatory instrument); (4) Peningkatan dan penggalakan upaya non-struktural melalui kampanye kepedulian masyarakat; (5) Penggalakan gerakan hemat air (Water saving  and Water Conservation Movements); (6) Program Reforestrasi dan Program penghijauan kembali; (7) Aplikasi penerapan Tencana Tata Ruang yang Konsisten; (8) Review menyeluruh, dan re-evaluasi alokasi SDA, Sistem hak-air dan sistem hak pakai air.

DAFTAR PUSTAKA

Committee on Restoration of Aquatic Ecosystems: Science, Technology, and Public Policy, Water Science and Technology Board, Commission on Geosciences, Environment, and Resources, National Research Council. 1992. Restoration of Aquatic Ecosystems. National Academy Press. Washington DC
Hafied a. Gany. Perspektif pengelolaan sungai terpadu. Seminar nasional & workshop ”pengelolaan sungai di indonesia”, yang diselenggarakan oleh center for river basin organizations and  management - crbom, dengan balai sungai, puslitbang sda, di lor-in hotel, solo, 24-25 november 2010
Jain CK, Bhatia KKS, Seth SM. Assessment of point and non-point sources of pollution using a chemical mass balance approach. Hydrological sciencesjournaldes sciences hydrologiques, 43(3) June. p 379-390
,

Tidak ada komentar:

Posting Komentar