Pencemaran
perairan merupakan salah satu isu lingkungan yang menjadi permasalahan utama
pada beberapa negara berkembang. Pencemaran dapat timbul sebagai akibat
kegiatan manusia (antropogenik) ataupun dapat terjadi secara alamiah. Adanya
kegiatan manusia yang tidak terkendali telah memicu terjadinya pencemaran
lingkungan yang tidak terkendali pula. Aktivitas antropogenik secara dramatik
mengubah regim dari input bahan organik, nutrien, maupun logam berat ke dalam
ekosistem sungai melalui perubahan penggunaan lahan maupun urbanisasi (Singer
& Battin, 2007). Adanya pencemaran organik dan kontaminasi logam berat ke
ekosistem sungai telah diketahui dapat memberikan dampak negatif bagi
kestabilan komunitas makroinvertebrata di perairan. Pengaruh bahan polutan
tersebut mungkin mengurangi keanekaragaman spesies, kepadatan, dan hilangnya
spesies yang tergolong sensitif (Timm et
al., 2001; Chakrabarty & Das,
2006).
Metode
monitoring lingkungan perairan khususnya perairan sungai selama ini hanya
mencakup monitoring menggunakan pendekatan fisika maupun kimia saja, padahal
kondisi ekologi dari sungai itu sendiri merupakan kondisi yang cukup unik yang
berbeda dengan ekosistim perairan tergenang seperti danau, rawa, ataupun laut. Monitoring
daerah aliran sungai dengan pendekatan pengukuran faktor fisika dan kimia saja
akan menyebabkan banyak informasi yang hilang atau tidak begitu akurat hal ini
terkait dengan dinamika yang terjadi disungai dimana laju pencucian (flushing rate) yang begitu tinggi
sehingga menyebabkan kontaminan organik ataupun logam berat akan cepat hilang
dari perairan. Selain itu pada pengukuran parameter fisika dan kimia akan
mengalami kesulitan interpretasi jika sumber pencemar tersebut berumber dari
bahan-bahan pencemar non-point source
yang selama ini sangat sulit dikendalikan. Dengan menggunakan pendekatan
biologi (makroinvertebrata) diharapkan dapat memberikan informasi yang lebih
akurat terhadap proses dinamika bahan pencemar diperairan (Al-shami et al., 2011).
Monitoring
biologi merupakan merupakan sebuah alat
monitoring yang sangat efiektif untuk menduga kualitas ekologi suatu lingkungan
perairan. Menggunakan monitoring secara kimia juga merupakan alat monitoring
yang efektif akan tetapi membutuhkan biaya yang mahal dan biasanya hanya
memberikan informasi yang terbatas mengenai keadaan suatu lingkungan perairan
secara detail. Parameter biologi juga dapat memberikan informasi mengenai
keadaan sebelumnya dari kondisi suatu lingkungan perairan. Metode perhitungan
biologi ini juga menawarkan keuntungan jika diaplikasikan pada lingkungan lotic neotropikal. Pada penelitian ini
menawarkan metode penggabungan metode survey fisika kimia karena merupakan efek
akhir yang ditimbulkan oleh kedua faktor tersebut. Keuntungan lain menggunakan
bentik makroinvertebrata adalah proses identifikasinya saat ini dinilai lebih
baik jika dibandingkan dengan organisme bentik lainnya seperti alga ataupun
mesofauna, dengan demikian biomonitoring diharapkan dapat memberikan informasi
yang lebih mendetail mengenai kondisi perairan sungai.
Penelitian
yang dilaksanakan pada beberapa segmen sungai di Ohio menunjukkan bahwa
pengukuran parameter kimia saja tidak berhasil menjelaskan kondisi perairan
secara menyeluruh termasuk kondisi biologi dan integritas ekologi system
akuatik. Sebagai contoh pendugaan status perairan sungai menggunakan indicator
biologi telah terbukti menjelaskan sebesar 50% dari 645 segmen sungai di Ohio,
sebaliknya pada saat pengukuran parameter kimia justu tidak menunjukan gangguan
(Adams, 2002). Perubahan struktur populasi dari organisme makroinverberata
sangat erat kaitannya dengan dinamika bahan pencemar yang masuk ke perairan.
Semakin baik (bersih) kondisi perairan maka akan semakin beragam pula organisme
yang hidup didalamnya (khususnya intolerant
spesies), sebaliknya jika kondisi perairan semakin menurun makan akan
menurunkan tingkat kenaekaragaman karena organisme-organisme intoleran tidak
ditemukan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar